Harapan dan Tantangan Pemerintahan Baru di Indonesia


Jika tidak ada aral melintang, tidak lama lagi, rezim pemerintahan Jokowi akan segera berakhir. Tepat pada tanggal 20 Oktober 2024, rezim pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto pun akan segera terbentuk.

Sebelumnya, para anggota DPR yang baru juga sudah resmi dilantik. Meski baru, banyak di antara anggotanya adalah muka-muka lama. Bahkan jabatan ketua DPR yang baru, juga dipegang kembali oleh Puan Maharani dari PDIP, yang notabene adalah Ketua DPR periode sebelumnya. Yang menarik, para anggota DPR baru ini, ternyata 60 persennya adalah pengusaha, dan 174 orang terindikasi terhubung dengan politik dinasti.

Karena itu, di satu sisi banyak yang menaruh harapan besar pada rezim pemerintahan baru, juga pada DPR baru. Namun, di sisi lain, tak sedikit yang pesimis, terutama kalangan Muslim yang kritis. Pasalnya, pemerintahan baru, termasuk DPR baru, sudah pasti menjalankan sistem lama (status quo), yakni sistem demokrasi-kapitalisme sekuler. Padahal selain terbukti gagal, sistem ini pun jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Dalam sistem ini juga sudah pasti sulit diharapkan syariah Islam bisa diterapkan secara kâffah. Padahal tanpa penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan, bisa dipastikan tak akan ada perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa dan negeri ini.

Faktanya, meski telah sering gonta-ganti rezim, keadaan negeri ini bukan tambah maju, tetapi malah makin mundur dan terpuruk. Rezim Jokowi yang sejak di periode pertama pemerintahannya (2014-2019) sudah digadang-gadang membawa harapan baru, toh hanya memberikan harapan semu, bahkan palsu. Justru pada masa rezim Jokowi segala sisi makin rusak. Hal itu terus berlanjut hingga periode kedua pemerintahannya (2019-2024).

Beban Berat yang Menanti Pemerintahan Prabowo

Rezim pemerintahan baru pun dipastikan akan bernasib sama. Apalagi rezim pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo bakal mewarisi beban sangat berat dan segudang persoalan yang ditinggalkan rezim Jokowi, khususnya di bidang ekonomi. Di antaranya angka kemiskinan yang tinggi, angka pengangguran dan PHK yang makin meningkat, pajak yang makin besar, daya beli masyarakat yang makin menurun, jumlah kelas menengah yang makin berkurang, beban pembayaran utang negara yang makin berat, penguasaan sumber daya alam milik rakyat oleh segelintir orang (asing dan aseng) yang makin tak terkendali, serta beban ekonomi masyarakat yang makin besar.

Dalam hal kemiskinan, misalnya, jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang (Setkab.go.id). Jumlah itu mengacu pada kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2024 sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan (Finance.detik.com). Jika kriteria kemiskinan itu dinaikkan sesuai dengan kriteria Bank Dunia sebesar US$ 3 per hari, maka jumlah rakyat miskin naik menjadi 40% dari total penduduk Indonesia (Cnbcindonesia.com). Artinya, dari jumlah total penduduk Indonesia sekitar 282 juta jiwa, sebanyak 112,8 juta terkategori miskin.

Tantangan Politik Koalisi

Di bidang politik, meskipun berhasil memenangkan Pemilu, Prabowo tidak memiliki mayoritas legislatif yang solid. Partai Gerindra, yang dia pimpin, hanya memperoleh sekitar 14% suara di Parlemen. Ini berarti Prabowo harus merangkul koalisi politik yang luas untuk menjalankan pemerintahan. Dengan koalisi yang gemuk, sangat mungkin muncul konflik kepentingan. Akibatnya, niat hati untuk mensejahterakan rakyat, ujung-ujungnya cenderung sebatas bagi-bagi kekuasaan.

Di sisi lain, kekuasaan oligarki makin mencengkeram. Ini terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi di mana sejumlah kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis, seperti sumber daya alam (pertambangan, perkebunan), infrastruktur, dan perbankan. Para oligarki ini juga sering memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan politik. Ini memungkinkan mereka mempengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Belum lagi ragam persoalan di bidang hukum, sosial, pendidikan, dan lain-lain yang makin ke sini tampak makin rumit dan kompleks.

Harapan Hanya pada Kekuasaan Islam

Di dalam Islam, kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw. bersabda:

أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ  
"Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil" (HR ath-Thabarani).

Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum.

Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan syariah Islam di tengah-tengah masyarakat. Sebabnya, tidak ada keadilan tanpa penerapan dan penegakan syariah Islam. Karena itulah siapapun penguasanya, jika dia tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan syariah Islam, maka dia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 45 dan 47).

Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi saw. mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyatnya. Beliau bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ  
"Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya surga" (HR al-Bukhari).

Di dalam Islam, agar pemangku kekuasaan bertindak amanah, ia wajib mengemban kekuasaannya di atas pondasi agama, yakni Islam. Inilah yang juga ditegaskan oleh Imam al-Ghazali rahimahulLâh:

 الدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ، وَلِهَذَا قِيْلَ: الدِّيْنُ أُسٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ  
"Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Karena itu sering dikatakan: Agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap" (Abu Hamid al-Ghazali, Al-­Iqtishâd fî al-­I’tiqâd, 1/78).

Kata Imam ar-Razi rahimahulLâh, berkat kekuasaan yang bersanding dengan agama (Islam), Allah SWT menghilangkan berbagai keburukan dunia dari manusia (Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 3/424).

Di dalam Islam kekuasaan harus diorientasikan untuk: (1) menegakkan Islam; (2) melayani berbagai kepentingan masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Kekuasaan semacam ini terwujud hanya dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam. Bukan dalam sistem pemerintahan yang anti syariah, baik sistem demokrasi ataupun yang lain.

Khilafah Islam akan mengatur berbagai urusan seluruh warga negaranya (Muslim maupun non-Muslim) dengan syariah Islam; seperti menjamin kebutuhan hidup, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi.

Khalifah akan mengelola

sumber daya alam milik rakyat (seperti tambang minyak, gas, batubara, mineral, emas, perak, nikel, dll) agar bermanfaat bagi segenap warga negara. Khilafah tidak akan membiarkan sumber daya alam milik rakyat itu dikuasai oleh swasta, apalagi pihak asing.

Khilafah Islam juga akan menjaga dan melaksanakan urusan agama seperti melaksanakan hudûd untuk melindungi kehormatan, harta, dan jiwa masyarakat Muslim maupun non-Muslim. Khilafah Islam pun akan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia. Khilafah pula yang akan memimpin jihad demi menyelamatkan kaum Muslim yang tertindas di berbagai negeri seperti di Palestina, Xinziang, Myanmar, dll.

Khatimah

Alhasil, mau tidak mau, jika bangsa ini ingin maju, sejahtera, adil, dan makmur, maka yang mereka butuhkan bukan sekadar rezim atau penguasa baru. Akan tetapi, yang mereka butuhkan sekaligus adalah sistem pemerintahan baru, yakni sistem pemerintahan Islam. Sebabnya jelas, sejahtera, adil, dan makmur hanya mungkin saat umat Islam mengamalkan dan menerapkan syariah Islam. Pengamalan dan penerapan syariah Islam secara kâffah tentu merupakan wujud ketakwaan hakiki. Ketakwaan hakiki inilah yang bakal mendatangkan aneka keberkahan, khususnya bagi negeri ini. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Quran:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ  
"Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka" (TQS al-A’raf [7]: 96).

Karena itulah Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki rahimahulLâh menegaskan:

فَلَوْ أَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ (الْيَوْمَ) عَمِلُوْا بِأَحْكَامِ الْفِقْهِ وَ الدِّيْنِ كَمَا كَانَ أَبَاءُهُمْ لَكَانُوْا أَرْقَ اْلأَمَمِ وَ أَسْعَدَ النَّاسِ  
"Andai kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fiqih dan (syariah) agama ini, sebagaimana generasi pendahulu mereka (pada masa lalu), niscaya mereka menjadi umat yang paling maju dan paling bahagia" (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Syarî’atulLâh al-Khâlidah, hlm. 7).

Pengamalan dan penerapan syariah Islam secara kâffah inilah yang juga dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mendirikan Negara Islam untuk pertama kalinya di Madinah. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya dengan hanya menegakkan Khilafah Islam, yang juga hanya menerapkan syariah Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى  
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka bagi dia kehidupan yang sempit dan di akhirat kelak dia dibangkitkan dalam keadaan buta" (TQS Thaha [20]: 124).

Tidak ada komentar untuk "Harapan dan Tantangan Pemerintahan Baru di Indonesia"