Apakah Terjadi Kriminalisasi Ulama di Era Khilafah? Memahami Sejarah dan Konteksnya



Sebelum menjelaskan realitas sejarah hubungan para ulama dengan kekuasaan, maka harus dipahami bahwa Khilafah adalah:

Definisi Khilafah

رِﺋَﺎسَةٌ عَامَة لِجَمِيْعِ المسْلِمِيْنَ فِي الْعَالَمِ لِتَطْبِيْقِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، وَحَمْلِ الدَّعَّوْةِ الْإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ

Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (Dr. Mahmud Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 34)

Karena Khilafah merupakan kepemimpinan bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia, maka Khilafah bukan hanya milik seorang khalifah, tetapi milik para ulama dan seluruh kaum Muslim. Tujuan Khilafah, sebagai zhillulLâh [bayangan Allah] di muka bumi, adalah untuk menerapkan seluruh hukum Allah, dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya itu, Khilafah juga mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dalam rangka menerapkan hukum Allah ke luar negeri. Itulah misi Khilafah, sebagai negara yang diwariskan oleh Rasulullah saw.

Peran Ulama dalam Khilafah

Dalam mewujudkan misi dan tujuannya itu, Khilafah tidak bisa sendiri. Ia ditopang oleh masyarakat dan individu. Semuanya ini bagian dari politik Islam, sebagai satu kesatuan. Itu tampak dari fakta politik:

السِّيَاسَة هِيَ رِعَايةُ شُؤُوْنِ اْلأُمَّةِ دَاخِلِيّاً وَخَارِجِيّاً، وَتَكُوْنُ مِنْ قِبَلِ الدَّوْلَةِ وَالأُمَّةِ فَالدَّوْلَةُ هِيَ الَّتِيْ تُبَاشِرُ هَذِهِ الرِّعَايَةَ عَمَلِيّاً، وَالأُمَّة هِيَ الَّتِيْ تُحَاسِبُ بِهَا الدَّوْلَةَ

Politik adalah mengurusi urusan umat, baik di dalam maupun luar negeri, yang dilakukan oleh negara dan umat. Negara adalah pihak yang mengurus langsung secara praktis pengurusan [urusan umat] ini, sedangkan umat adalah pihak yang mengoreksi negara dalam pengurusannya. (Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Afkar Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir)

Hubungan Ulama dan Penguasa dalam Islam

Karena itu Islam tidak mengenal dikotomi “agamawan” dan “negarawan”. Pasalnya, baik ulama maupun penguasa kaum Muslim sama-sama menjalankan aktivitas politiknya masing-masing. Penguasa, dengan kekuasaannya, melaksanakan tugas mengurus urusan umat secara langsung, dengan menerapkan hukum Islam, dan mengemban dakwah ke luar negeri. Adapun rakyat, baik ulama maupun bukan, melaksanakan tugas mengoreksi negara dalam melaksanakan tugas mengurus mereka. Semuanya itu merupakan satu-kesatuan sistem.

Peran Ulama dalam Mengoreksi Kekuasaan

Dalam sistem Khilafah, ulama berperan penting dalam mengoreksi kebijakan negara, terutama yang dianggap menyalahi hukum syariah atau merugikan kepentingan umat. Mekanisme check and balance ini juga diatur melalui Majlis Umat, Mahkamah Mazalim, dan partai politik.

Namun demikian, meski kritik terhadap penguasa sering terjadi, ini bukan berarti ada kriminalisasi terhadap ulama. Sebaliknya, kritik tersebut merupakan bagian dari kewajiban untuk melakukan amar makruf nahi munkar (menganjurkan yang baik dan mencegah kemungkaran) sesuai dengan prinsip Islam. Para ulama berperan mengoreksi kebijakan yang menyimpang dari syariah, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dalam sejarah Khilafah.

Contoh-Contoh Kritik Ulama terhadap Penguasa

  1. Muawiyah, sahabat Nabi saw. yang juga mujtahid, kebijakannya dikoreksi oleh Abu Muslim al-Khaulani di depan publik, karena dianggap salah dalam pembagian ghanimah. Kritik Abu Muslim yang keras itu dibalas dengan kemarahan, namun Muawiyah akhirnya mengakui kesalahannya.
  2. Sufyan at-Tsauri mengkritik Khalifah al-Mahdi karena penggunaan dana Baitul Mal yang digunakan untuk haji, yang tidak diketahui jumlahnya.
  3. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Kailani mengkritik Khalifah al-Muqtafi bi AmrilLah karena mengangkat Yahya bin Sa’id yang zalim sebagai hakim, yang akhirnya membuat Khalifah memecatnya.
  4. Imam Ahmad, yang syahid di tangan al-Ma’mun, adalah contoh lain dari ulama yang tegas dalam mempertahankan kebenaran meskipun mendapat tekanan.

Ketakwaan dan Peran Ulama dalam Khilafah

Faktor ketakwaan adalah kunci dalam menjaga keseimbangan antara penguasa dan ulama. Ketakwaan yang tinggi pada penguasa memungkinkan mereka untuk menerima kritik dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan hukum syariah. Sebaliknya, tanpa ketakwaan, penguasa dapat menyimpang dari jalan yang benar.

Kesimpulan

Sejarah menunjukkan bahwa hubungan antara penguasa dan ulama dalam Khilafah tidak selalu bebas dari konflik, namun ini bukan karena adanya kriminalisasi terhadap ulama. Kritik terhadap penguasa dalam sistem Khilafah adalah bagian dari kewajiban menjaga agar negara tetap berada dalam jalur syariah. Oleh karena itu, sistem pemerintahan Khilafah bukanlah negara teokrasi, melainkan negara yang mengayomi seluruh umat Islam dengan dasar ketakwaan dan kepatuhan terhadap hukum syariah.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

  1. Dr. Mahmud Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 34.
  2. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Afkar Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, hlm…
  3. Al-Hafidz Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’; al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, V/70.
  4. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, al-Ulama’ Baina al-Hukkam, hlm. 73.
  5. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, Ibid, hlm. 76.
  6. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, Ibid, hlm. 86.
  7. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, Ibid, hlm. 85.

Tidak ada komentar untuk "Apakah Terjadi Kriminalisasi Ulama di Era Khilafah? Memahami Sejarah dan Konteksnya"