Fitnah Dunia dan Makna Wara' bagi Ulama Salaf dalam Menghindari Godaan Duniawi


Abdillah bin Sulaiman menuturkan bahwa Umar bin al-Khaththab ra. pernah bertanya, “Siapakah manusia yang paling utama?” Orang-orang menjawab, “Mereka yang biasa melakukan shalat.” Umar berkata, “Sungguh mereka ada yang baik dan ada yang buruk.” Mereka berkata lagi, “Para mujahid fi sabilillah.” Umar berkata, “Mereka pun ada yang baik dan ada yang biasa berbuat dosa.” Mereka berkata lagi, “Mereka yang biasa berpuasa.” Umar berkata, “Mereka juga ada yang baik dan ada pula yang bermaksiat. Akan tetapi, sungguh yang paling mulia itu adalah orang yang wara’ dalam beragama, yang menyempurnakan ketaatannya kepada Allah SWT.” (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Wara’, I/19)

Tentang wara’ pula, seorang ulama pernah berkata, “Wara’ mengantarkan hamba pada sikap zuhud. Zuhud mengantarkan hamba pada cinta kepada Allah SWT (Ibn Abi ad-Dunya, Az-Zuhd, I/288).

Para salafush-shâlih dulu sepanjang hidupnya biasa menghiasi diri dengan sikap wara’ ini. Karena sikap wara’ mereka, mereka selalu berupaya menjauhi fitnah dunia. Baik terkait harta, tahta, atau yang lainnya. Mereka, misalnya, tak banyak yang tertarik dengan jabatan atau kekuasaan duniawi. Contohnya Imam Syafii. Ketika ditawari suatu jabatan, beliau menolak. Demikian pula Imam Ahmad. Saat beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman Bani Umayah yang terakhir, beliau pun enggan. Pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur, saat beliau diminta kembali untuk menjadi hakim, beliau tetap menolak. Semua itu mereka lakukan bukan karena jabatan dan kekuasaan itu haram, tetapi semata-mata karena mereka khawatir akan Hari Pertanggungjawaban. Sikap demikian tentu karena sikap wara’ mereka.

Sikap yang sama ditunjukkan oleh Ibnu Khairan, seorang ulama mazhab Syafii. Ia pernah menolak keras saat diminta untuk menjadi qâdhi (hakim) karena sadar bahwa tanggung jawabnya sangat berat untuk dipikul.

Keputusan Ibnu Khairan menolak jabatan hakim menyebabkan Abu Hasan Ali bin Isa, salah satu pejabat era Khalifah al-Muqtadir, memutuskan untuk menghadiahkan rumahnya kepada Ibnu Khairan. Tujuannya agar Ibnu Khairan bersedia menjabat sebagai hakim. Namun, Ibnu Khairan tetap enggan.

Ada yang lalu bertanya kepada sang pejabat mengenai keputusan itu. Sang pejabat itu pun menjawab, “Tujuanku menyerahkan rumah itu hanya agar kelak ada yang menyampaikan bahwa pada zaman kita ini ada orang yang menghadiahkan rumahnya kepada Ibnu Khairan agar ia mau menerima jabatan hakim, namun ia menolak.”

Karena itulah para shalafush-shâlih bukanlah tipikal orang-orang yang senang jika punya hubungan dekat dengan kekuasaan. Mereka bahkan selalu menjaga jarak dengan kekuasaan. Padahal sebagian dari para penguasa saat itu—yakni para khalifah—adalah orang-orang shalih. Mereka adalah para penguasa yang senantiasa menerapkan syariah Islam secara kâffah di tengah-tengah masyarakat.

Mengapa para salafush-shâlih selalu menjaga jarak dengan kekuasaan? Tentu karena mereka amat memahami apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw., “Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu penguasa akan terkena fitnah. Tidaklah seseorang semakin dekat dengan penguasa kecuali ia akan bertambah jauh dari Allah.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Mereka pun selalu mengingat sabda Rasulullah saw., “Sungguh qurra (para pengemban al-Quran) yang paling dibenci oleh Allah ialah yang mendatangi penguasa.” (HR Ibnu Majah).

Berbeda dengan zaman kini. Tak sedikit ulama yang bukan hanya bangga saat dekat dengan pusat kekuasaan. Mereka bahkan ingin selalu berdekatan dengan penguasa. Dengan berbagai cara. Meski harus dengan menjual agama mereka. Mengapa bisa terjadi? Barangkali zaman kini adalah zaman yang pernah diisyaratkan oleh Rasulullah saw., “Akan ada pada akhir zaman ulama yang menyeru manusia untuk mencintai akhirat, sedangkan ia sendiri tidak mencintai akhirat. Ia menyeru manusia agar zuhud di dunia, tetapi ia sendiri tidak berlaku zuhud terhadap dunia.” (HR ad-Dailami).

Jauh-jauh hari Rasulullah saw. pernah mengingatkan, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama, tetapi membenci ulama yang mendekati penguasa. Sebabnya, ulama, ketika dekat dengan penguasa, yang diinginkan adalah dunia. Sebaliknya, penguasa, saat mendekati ulama, yang diinginkan adalah akhirat.” (HR ad-Dailami).

Sayang, hari ini ulama dan penguasa sama saja. Mereka saling mendekat. Sama-sama demi kepentingan duniawi. Ulama mendekat kepada penguasa demi harta dan jabatan. Penguasa mendekati ulama demi meraih dukungan mereka; demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Mayoritas Ulama Salaf

Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadis-hadis dan atsar di atas—yang mencela para ulama yang mendatangi para penguasa—berlaku secara muthlaq. Baik ia diundang untuk mendatangi penguasa atau tidak.

Baik ia diundang untuk kemaslahatan dunia atau selain itu. Dalam hal ini Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika penguasa mengundang kamu untuk mengajari mereka Qul Quwa AlLâhu Ahad maka jangan kamu datangi dia.”

Inilah juga sikap yang ditunjukkan oleh Imam al-Bukhari. Sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Munir: Penguasa Bukhara pernah mengutus seseorang untuk mendatangi Imam al-Bukhari seraya membawa pesan, “(Katakan kepada Imam al-Bukhari), tolong bawakan kepadaku kitab Al-Jâmi (Shahîh al-Bukhâri) dan kitab At-Târîkh agar aku dapat mendengar langsung dari beliau.” Imam al-Bukhari menyampaikan jawaban, “Katakan kepada dia, aku tidak akan menghinakan ilmu. Aku tidak akan mendatangi pintu-pintu penguasa. Jika dia butuh sesuatu dari kitab tersebut, suruh dia mendatangi masjidku atau rumahku.”

Begitulah Imam al-Bukhari. Karena sikap wara’-nya, ia enggan mendatangi penguasa meski untuk mengajarkan ilmu. Apalagi untuk kepentingan duniawi dan pribadinya.

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Muhammad bin Maslamah. Bahkan ia pernah berkata, “Lalat di atas kotoran lebih baik dari ulama yang berada di pintu penguasa.”

Kisah-kisah di atas antara lain disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi dalam Shifat ash-Shafwah (1/352-353), Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubalâ’ (15/59), dll.

Demikianlah sikap salafush-shâlih terhadap jabatan dan kekuasaan. Semua itu karena sikap wara’ mereka.

Bagaimana dengan saat ini? Sayang, sebagian ulama saat ini seolah sangat bernafsu terhadap jabatan dan kekuasan duniawi. Ironisnya, untuk meraih “sekerat tulang” dunia itu, tak sedikit yang menghalalkan segala cara. Di antaranya dengan jualan agama.

Begitulah dahsyatnya fitnah dunia. Na’ûdzu bilLâhi min dzâlik. [Arief B. Iskandar]

Tidak ada komentar untuk "Fitnah Dunia dan Makna Wara' bagi Ulama Salaf dalam Menghindari Godaan Duniawi"