Keagungan Allah SWT dan Penyesalan Orang Kafir dalam Perspektif Hari Kiamat
Allah SWT berfirman: رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ (Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah). Kata Rabbi dalam ayat ini berkedudukan sebagai badal (keterangan pengganti) dari kata Rabbika pada ayat sebelumnya.
Dengan demikian, ayat ini menerangkan bahwa Tuhan yang memberikan balasan kebaikan dan pemberian yang mencukupi kepada orang-orang yang bertakwa adalah Tuhan langit dan bumi, beserta semua yang ada di antara keduanya.
Kata ar-Rahmân berkedudukan sebagai shifah (sifat) bagi kata Rabbika atau Rabbi as-samâwât wa al-ardh. Maknanya, Tuhan langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya adalah Tuhan yang memiliki sifat ar-Rahmân. Dialah ar-Rahmân yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.
Dengan demikian, menurut Ibnu Katsir, Allah SWT mengabarkan tentang keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa Dia adalah Tuhan langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya; Dia adalah ar-Rahmân yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.
Selanjutnya, Allah SWT berfirman: لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا (Mereka tidak dapat berbicara dengan-Nya). Wâwu al-jamâ’ah pada kata yamlikûna menunjuk kepada penduduk langit dan bumi. Dengan demikian, mereka yang dimaksudkan adalah al-‘ibâd (para hamba). Adapun minhu berarti dari Allah SWT.
Makna kata khithâb, menurut Qatadah, adalah kalâm (percakapan, pembicaraan).
Az-Zuhaili memaknai kata tersebut: mukhâthabah wa mukâmalah (pembicaraan dan percakapan). Artinya, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang bisa berbicara dengan-Nya karena takut kepada-Nya. Jika pun diizinkan, hanya ketika mendapatkan izin-Nya. Al-Khazin berkata, “Makhluk tidak dapat berbicara dengan Tuhan kecuali dengan izin-Nya.”
Allah SWT berfirman: يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا (pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf). Kata yawma dalam ayat ini berkedudukan sebagai zharf (keterangan waktu) dari frasa sebelumnya, yakni لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا.
Artinya, peristiwa para hamba tidak dapat berbicara dengan Allah SWT itu terjadi pada hari ketika Ruh dan malaikat berdiri bershaf-shaf.
Siapakah yang dimaksud dengan ar-Rûh dalam ayat ini? Ada beberapa pendapat. Menurut Imam al-Qurthubi, ada delapan pendapat tentang itu, yakni salah satu malaikat, Malaikat Jibril, salah satu tentara Allah SWT, para tokoh malaikat, para penjaga malaikat, para anak Adam, ruh-ruh anak Adam, dan al-Quran.
Banyaknya penafsiran tentang makna rûh juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan mufassir lainnya.
Menurut an-Nasafi, yang dimaksud dengan rûh dalam ayat ini adalah Malaikat Jibril. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Allah SWT berfirman: لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنِ وَقَالَ صَوَابًا (Mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Mahapemurah dan ia mengucapkan kata yang benar).
Sebagaimana manusia, Ruh dan malaikat yang bershaf-shaf itu juga tidak dapat berbicara dengan Allah SWT. Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini mengokohkan ayat sebelumnya. Menurut ar-Razi pula, hal itu disebabkan karena malaikat adalah makhluk paling agung, baik kemuliaan maupun derajatnya, paling tinggi kekuatan dan kedudukannya. Lalu diterangkan bahwa mereka tidak bisa berbicara pada saat Hari Kiamat karena mengagungkan Tuhan mereka, takut kepada dan tunduk kepada-Nya.
Allah SWT berfirman: إنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا (Sungguh Kami telah memperingatkan kalian (orang kafir) siksa yang dekat). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat ini bermakna, “Sungguh Kami memperingatkan kalian, wahai manusia, tentang siksa yang telah kami timpakan kepada kalian.”
Kata al-indzâr berarti peringatan tentang sesuatu yang tidak disukai sebelum terjadi. Adapun adzâb qarîb (azab yang dekat) yang dimaksud adalah Hari Kiamat. Ini untuk mengukuhkan kepastian terjadinya sehingga menjadi dekat. Sebabnya, segala sesuatu yang akan datang pasti datang. Menurut Fakhruddin ar-Razi, semua yang akan datang itu adalah dekat.
Allah SWT berfirman: يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا (pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dulu adalah tanah.”).
Ini menggambarkan betapa besar penyesalan orang-orang kafir pada Hari Kiamat. Menurut Ibnu Katsir, orang kafir amat senang jika dulu di dunia menjadi tanah saja, tidak usah diciptakan, dan tidak lahir ke dunia. Itu terjadi ketika diperlihatkan kepada mereka azab Allah SWT dan melihat amal-amalnya yang rusak yang telah ditulis oleh para malaikat yang mulia lagi berbakti.