Mantiq dalam Menentukan Hukum: Apakah Diperbolehkan dalam Islam?
Soal:
Bolehkah menggunakan mantiq (logika) dalam menentukan hukum syariah? Jika tidak boleh, apa alasan dan dalilnya?
Jawab:
Mantiq (logika) adalah teknik (uslûb) berpikir dengan menggunakan proposisi [qadhaya], yang disusun dalam bentuk premis mayor [muqaddimah kubra], minor [muqaddimah sughra], kemudian kongklusi [natîjah].
Sebenarnya mantiq bukan metode berpikir [tharîqah tafkîr], tetapi hanya salah satu teknik [uslûb] berpikir saja.
Sebagai teknik berpikir, mantiq tidak terlarang untuk digunakan, tetapi harus proporsional dan tepat guna. Pasalnya, mantiq bukan metode umum berpikir [tharîqah tafkîr], tetapi hanya teknik [uslûb] yang bisa digunakan sesuai dengan obyek yang dipikirkan. Karena itu kesalahan dalam menggunakan mantiq akan menghasilkan kesimpulan yang juga salah karena tidak tepat guna dan tidak proporsional.
Contoh menggunakan mantiq yang tidak tepat dan tidak proporsional dalam masalah akidah. Misalnya, kesimpulan Muktazilah tentang sifat Allah, bahwa sifat Allah itu menyatu dengan Zat-Nya. Kesimpulan ini diambil dari premis mayor dan minor, antara lain, bahwa Allah mempunyai sifat. Sifat Allah harus menyatu dengan Zat-Nya. Alasannya, jika tidak, akan ada dua Zat yang sama-sama Qadîm. Kalau ada dua Zat yang sama-sama Qadîm, maka akan ada dua Tuhan. Ini jelas tidak boleh. Karena itu Sifat dan Zat Allah harus satu.
Apakah Muktazilah menolak sifat Allah? Tentu tidak. Hanya saja, karena menggunakan logika mantiq, akhirnya Muktazilah terbelit dengan premis yang mereka buat sendiri. Lalu, bagaimana cara Muktazilah merumuskan kongklusinya? Muktazilah mengatakan, “Allah Mahatahu, tetapi tidak dengan ilmu yang terpisah dari Zat-Nya. Allah Mahakuasa, tetapi tidak dengan kekuasaan yang terpisah dengan Zat-Nya.”
Begitu seterusnya. Itulah kesimpulan Muktazilah yang dibangun dengan menggunakan mantiq yang tidak proporsional.
Di mana tidak proporsionalnya? Karena menyusun premis umum, “Allah mempunyai sifat.” Disandingkan dengan premis khusus, “Sifat Allah harus menyatu dengan Zat-Nya, sebab jika tidak, akan ada dua Zat yang sama-sama Qadîm. Kalau ada dua Zat yang sama-sama Qadîm, maka akan ada dua Tuhan.” Kongklusinya, “Sifat Allah harus menyatu dengan Zat-Nya.”
Penggunaan mantiq seperti ini jelas offside dan tidak proporsional karena obyeknya gaib, terkait dengan Sifat dan Zat Allah.
Lalu bagaimana caranya menggunakan mantiq yang proporsional dan tepat guna? Caranya, premis mayor dan minornya harus sama-sama benar. Harus relevan satu sama lain. Jika tidak, maka kongklusinya pasti salah. Contoh, kongklusi yang salah, “Malaikat diciptakan berpasang-pasangan.” Kongklusi ini dibangun dari dua premis yang tidak berhubungan, meski sama-sama benar. Premis mayor mengatakan, “Setiap makhluk Allah diciptakan berpasangan.” Premis minor mengatakan, “Malaikat adalah makhluk Allah.” Kongklusinya, “Malaikat diciptakan berpasang-pasangan.” Kesalahan kongklusi ini terjadi karena antara premis mayor dan minor, meski sama-sama benar, tidak berhubungan, atau beda konteks.
Berbeda dengan kongklusi, “Aristoteles pasti mati.” Yang dibangun dari premis mayor, “Tiap manusia pasti mati.”, dan premis minor, “Aristoteles adalah manusia.” Kongklusi, “Aristoteles pasti mati” adalah kongklusi yang benar. Karena faktanya memang begitu. Kongklusi ini benar karena premis mayor dan minornya benar dan satu sama lain terkait [relevan].
Hanya saja, meski premis mayor dan minor sama-sama benar, dan relevan, tetapi tidak mesti kongklusinya benar, jika mantiq ini digunakan dalam menarik kesimpulan hukum. Mengapa? Karena hukum syariah mempunyai ketentuan sendiri, yang tidak dibangun berdasarkan mantiq, tetapi dibangun berdasarkan dalil. Bahkan menarik kesimpulan dari dalil pun tidak boleh menggunakan mantiq, tetapi harus berdasarkan nalar nas, dengan karakteristiknya yang khas.
Sebagai contoh, ketika Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya, Fiqh ad-Dawlah, membuat kesimpulan, bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Alasannya, demokrasi mengajarkan musyawarah, dan Islam juga mengajarkan musyawarah. Kesimpulan seperti ini jelas merupakan kongklusi mantiq. Bukan kesimpulan yang ditarik dari nalar nas. Meski ada yang digunakan. Lalu bagaimana cara mengetahui, bahwa kesimpulan ini tidak ditarik dari nalar nas?
Fakta “syura” dalam al-Quran bisa dijelaskan dan dideskripsikan dengan al-Hadis sehingga faktanya bisa digambarkan dengan utuh:
“Syura” faktanya adalah mengambil pendapat;
Fakta pendapat itu bisa dibagi menjadi tiga. Ada yang terkait dengan hukum syariah; pemikiran yang membutuhkan keahlian, seperti definisi atau strategi; dan tindakan yang tidak membutuhkan dalil dan tidak membutuhkan keahlian, seperti melakukan tindakan atau tidak, yang hukumnya sudah jelas mubah. Dalam ketiga konteks pendapat ini, masing-masing ada dalil [hadis] yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana cara mengambil pendapat dalam masalah ini.
1. Terkait dengan pendapat tentang hukum syariah:
Maka ada hadis tentang Shulh Hudaibiyyah. Saat itu Nabi saw. bergeming dengan sikap dan pendiriannya. Beliau tetap meneken dan melanjutkan perjanjian tersebut meski dinilai oleh sebagian sahabat merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim, termasuk oleh ‘Umar. Bahkan ‘Umar mempertanyakan kepada Abu Bakar, “Apakah Baginda itu nabi?” Yang kemudian dijawab dengan tegas oleh Abu Bakar, “Benar. Baginda adalah hamba dan Rasul-Nya. Beliau sekali-kali tidak akan menyalahi tintah-Nya.” Tidak puas dengan jawaban Abu Bakar, ‘Umar pun langsung mendatangi Rasulullah saw. Beliau pun dengan tegas menyatakan di hadapan ‘Umar, “Aku adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku sekali-kali tidak akan pernah menyalahi titah-Nya.”
Pernyataan Nabi saw. ini membuktikan, bahwa pendapat yang dinyatakan dan diambil Nabi saw., adalah hukum syariah yang harus dipegang teguh. Meski begitu rupa penentangan sahabat, khususnya ‘Umar, terhadap pendapat Nabi saw., beliau tetap dengan pendiriannya. Karena itu, dalam konteks pendapat yang menyangkut hukum syariah, pendapat yang diambil adalah pendapat yang dinyatakan wahyu. Bukan yang lain.
2. Terkait dengan pendapat yang membutuhkan keahlian:
Maka ada riwayat berupa tindakan Nabi saw. yang membatalkan keputusannya, terkait dengan strategi penempatan pasukan saat Perang Badar, 17 Ramadhan 2 H. Pembatalan itu beliau lakukan setelah mendengarkan masukan Khubab bin Mundzir al-Jamuh, yang notabene ahli dan menguasai medan di Badar. Ini membuktikan bahwa dalam konteks ini pendapat yang diambil dan digunakan adalah pendapat ahli dan pakar, yang menguasai fakta dan masalah tersebut. Bukan yang lain.
3. Terkait dengan pendapat yang tidak membutuhkan dalil dan keahlian:
Karena hukumnya sudah jelas, ada hadis tentang Perang Uhud, saat Nabi saw. mengambil suara mayoritas sahabat junior untuk berperang di luar Madinah, bukan di dalam Madinah, sebagaimana pendapat sahabat senior. Karena suara sahabat junior ini mayoritas, maka Nabi saw. pun mengambil pendapat mereka. Dalam konteks ini, pendapat tersebut diambil karena pertimbangan suara mayoritas, bukan karena dinyatakan oleh wahyu atau ahli. Karena pendapat yang diambil dalam hal ini adalah pendapat yang sudah jelas mubah, “perang di luar atau di dalam Madinah” sama-sama boleh. Begitu juga tidak membutuhkan keahlian tertentu, karena sudah sama-sama diketahui risiko dan konsekuensinya.
Dengan demikian, kesimpulan hukum syariah harus bersandar pada nalar nas, bukan sekadar logika mantiq. Perbedaan ini menjelaskan mengapa kadang-kadang mantiq tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan hukum, terutama jika tidak didasarkan pada dalil syar'i yang sah.
Referensi:
- Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh ad-Dawlah, Penerbit al-Maktabah al-Islamiyyah, 2009.
- Al-Hadis: Shulh Hudaibiyyah.
- Riwayat Khubab bin Mundzir al-Jamuh.