Pemahaman Fatwa dalam Islam: Mengapa Beberapa Fatwa Bisa Menghalalkan yang Haram?


Soal:

Bagaimana kedudukan fatwa yang “mengharamkan yang wajib” atau “menghalalkan yang haram”? Apakah fatwa tersebut mempunyai nilai, khususnya dalam konteks hukum syariah? Apakah diakui sebagai hukum syariah, atau tidak?

Jawab:

Pertama-tama, kaum Muslim harus paham, bahwa hukum syariah adalah seruan Pembuat syariah, sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama:

اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ هُوَ خِطَابُ الشَّارِعِ اَلْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْعِبَادِ، إِمَّا بِالإِقْتِضَاءِ، أَوِ التَّخْيِيْرِ، أَوِ الْوَضْعِ

Hukum syariah adalah seruan Pembuat syariah yang terkait dengan perbuatan manusia, baik yang terkait dengan tuntutan (melakukan atau meninggalkan perbuatan), pilihan atau wadh’i.

Karena hukum syariah adalah seruan Pembuat syariah maka hukum syariah harus bersumber dan digali dari dalil syariah. Karena itu dalil syariah disebut oleh para ulama sebagai hujjah yang membuktikan bahwa hukum tertentu merupakan hukum syariah. Dengan demikian, tanpa adanya dalil syariah yang menjadi sumber dari hukum tertentu, hukum tersebut tidak bisa disebut hukum syariah.

Dalil syariah itu sendiri ada empat yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Ini yang disepakati. Adapun yang lain seperti Mashâlih Mursalah, Istihsân, Ijtihad Sahabat, dan lain-lain adalah apa yang diklaim sebagai dalil, tetapi sesungguhnya tidak layak disebut dalil. Pasalnya, keberadaannya tidak bisa dibuktikan dengan dalil qath’i, atau wahyu. Adapun empat dalil yang telah disepakati, semuanya bisa dibuktikan dengan dalil qath’i, atau wahyu.

Mengenai dalil syariah yang telah disepakati pun masih bisa dipilah menjadi dua, ada yang sumbernya qath’i, dan ada yang zhanni.

Mengenai al-Quran, tidak ada perselisihan, tentang sumbernya, yaitu dari Allah. Karena itu dari aspek sumber (tsubût), al-Quran statusnya qath’i meski maknanya bisa qath’i dan bisa zhanni.

Adapun as-Sunnah, dari aspek tsubût, statusnya ada yang qath’i, seperti Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Maknanya juga demikian, bisa qath’i dan bisa zhanni. Begitu juga dengan Ijmak Sahabat dan Qiyas.

Inilah yang disebut dalil syariah.

Adapun yang lain, selain empat dalil di atas, sebagian ulama menyebut dengan istilah Syubhat ad-Dalîl, merujuk pada sumber dari dalil-dalil yang masih diperselisihkan itu. Istilah Syubhat ad-Dalîl bisa juga merujuk pada isi (redaksi) dalil ketika ada redaksi yang lebih dominan maknanya (ghâlib) justru tidak diambil, malah mengambil yang maknanya lemah (maghlûb).1

Kembali pada pertanyaan di atas, bagaimana status fatwa yang “mengharamkan yang wajib” atau “menghalalkan yang haram”? Fatwa seperti ini ada beberapa kemungkinan. Pertama: Jika fatwa tersebut didasarkan pada dalil syariah berarti ada kemungkinan dua atau lebih dalil syariah yang bertabrakan (ta’ârudh) sehingga kesimpulan hukumnya bisa berbeda, bahkan kontradiksi. Dalam konteks seperti ini, harus diteliti, benarkah karena dua dalil tersebut sama-sama qath’i, sama-sama umum dan satu sama lain bertentangan (ta’ârudh)? Jika iya, kemungkinannya hanya satu, yaitu salah satu pasti di-naskh (mansûkh). Contoh firman Allah SWT:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

Wahai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan tinggalkan semua sisa-sisa riba jika kalian beriman (QS al-Baqarah [2]: 278).

Dua nas di atas jelas bertentangan dengan nas berikut ini:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Wahai orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda. Bertakwalah kalian kepada Allah. Semoga kalian beruntung (QS Ali Imran [3]: 130).

QS Ali ‘Imran ayat 130 ini masih membolehkan riba jika tidak banyak. Yang diharamkan adalah yang berlipat ganda. Padahal nas sebelumnya—QS al-Baqarah (2) ayat 275 dan 278—mengharamkan riba secara umum, baik yang banyak maupun sedikit. Karena itu kedua nas ini jelas berbenturan. Karena sama-sama qath’i dan umum, maka QS Ali Imran (3) ayat 130 ini dihapus (mansûkh) dan tidak berlaku lagi. Dengan begitu QS Ali Imran (3) ayat 130 ini tidak bisa digunakan sebagai dalil, yang membolehkan riba. Jika ada fatwa yang dibangun dengan dalil seperti ini jelas tidak mempunyai nilai sedikit pun. Dengan kata lain, fatwa tersebut tidak dianggap sebagai hukum syariah. Ini kemungkinan pertama.

Jika dalil yang bertabrakan itu tidak sama-sama umum, ada kemungkinan yang satu umum, dan yang satu lagi khusus, sehingga bisa dikompromikan, dan tidak bertentangan. Misalnya, firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ

Wahai orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian (QS al-Maidah [5]: 1).

Ayat ini dipertentangkan dengan dalil-dalil yang mewajibkan adanya Khilafah dan Khalifah. Padahal dalil-dalil tersebut tidak saling bertentangan. Justru sebaliknya. Pengangkatan Khalifah dilakukan dengan baiat. Baiat itu sendiri bagian dari akad sukarela (‘aqd murâdhah) yang dilakukan rakyat kepada Khalifah. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, ketika QS al-Maidah (5) ayat 1 ini digunakan dalam konteks memenuhi akad, yang hukumnya wajib, maka memenuhi akad baiat kepada Khalifah jelas wajib. Lalu di mana pertentangannya?

Nah, pertentangannya terjadi ketika konteks akad dalam QS al-Maidah (5) ayat 1 digunakan untuk menjustifikasi “akad-akad” yang menyalahi hukum syariah, seperti kesepakatan untuk terikat dengan Sekularisme, Liberalisme, bahkan hukum warisan penjajah yang jelas bertentangan dengan Islam. Padahal konteks QS al-Maidah (5) ayat 1 jelas tidak bisa ayat digunakan untuk ini. Namun, keumuman “akad-akad” tersebut diperkosa untuk memenuhi “birahi” mereka. Di sinilah kesalahannya.

Kesalahan kedua, nas yang sama dibenturkan dengan kewajiban untuk menegakkan Khilafah dan mengangkat Khalifah.

Karena itu, dari aspek dalil, sebenarnya tidak ada benturan. Yang ada adalah memperkosa dalil untuk memenuhi “birahi politik” semata. Jadi fatwa seperti ini jelas tidak layak untuk diikuti, apalagi dikatakan sebagai fatwa yang berlandaskan hukum syariah. Fatwa seperti ini hanya mempermalukan diri sendiri.

Ini adalah kemungkinan kedua.

Namun, jika fatwa tersebut hanya didasarkan pada asumsi atau pendapat pribadi tanpa merujuk pada dalil syariah yang sah, maka fatwa tersebut jelas tidak sah dan tidak bisa dianggap sebagai hukum syariah. Oleh karena itu, masyarakat harus berhati-hati dalam mengikuti fatwa yang tidak memiliki dasar yang kuat.

Sumber: Fatwa yang Mengharamkan yang Wajib atau Menghalalkan yang Haram?

Tidak ada komentar untuk "Pemahaman Fatwa dalam Islam: Mengapa Beberapa Fatwa Bisa Menghalalkan yang Haram?"