Memahami Kepemimpinan dalam Islam: Refleksi dari Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din
Hakikat Sejati Kepemimpinan
Bukan jabatan, melainkan jiwa. Itu adalah inti dari kepemimpinan yang sesungguhnya.
Tahukah Anda, salah satu golongan yang akan mendapatkan naungan Allah Ta'ala di akhirat kelak adalah pemimpin yang adil? Mari kita berdoa, semoga di antara kita ada yang bisa tampil menjadi pemimpin, yang mampu mengantarkan umat Islam kembali menjadi umat terbaik, dan membawa keberkahan bagi seluruh dunia. Amin.
Imam Al-Mawardi: Sosok Ulama dan Pemikir Adil
Mungkin Anda bertanya, mengapa ada dua judul untuk kitab ini? Perbedaan ini wajar dalam naskah kuno karena terkait riwayat penyalinan atau penamaan oleh pihak lain jika penulis aslinya tidak mencantumkan judul. Namun, esensinya sama.
Mengawali Pembahasan Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din
Mari kita awali kajian ini dengan membaca Al-Fatihah untuk Imam Al-Mawardi dan para guru kita. Semoga Allah memberkahi kajian ini, menganugerahkan kita pemahaman yang mendalam, dan menjadikan ilmu yang kita dapatkan bermanfaat.
Muqaddimah Khutbatul Muallif:
(Semoga Allah merahmati beliau)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الْآطَالِ وَالْآلَاءِ.
(Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, Zat yang memiliki kekayaan dan ke-ilah-an yang begitu luar biasa banyaknya.)
صَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الرُّسُلِ وَالْأَنْبِيَاءِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْأَتْقِيَاءِ.
(Semoga selawat Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, penutup para rasul dan para nabi, dan semoga juga tetap tercurahkan untuk keluarga Baginda Shallallahu Alaihi Wasallam dan sahabat-sahabat Baginda Shallallahu Alaihi Wasallam yang bertakwa.)
(Sesungguhnya kemuliaan perkara yang dicari itu adalah dengan melihat hasilnya.)
Ini adalah poin penting yang disampaikan Imam Al-Mawardi. Jika kita mencari sesuatu, bagaimana kita tahu itu mulia atau tidak? Lihatlah hasilnya.
Misalnya, dalam mencari ilmu, ilmu apa yang paling mulia? Jawabannya ada pada hasilnya. Jika ilmu itu menjadikan kita orang yang mulia, maka itulah ilmu yang mulia.Prinsip ini jugalah yang mendasari ulama membagi ilmu menjadi ilmu fardu ain, fardu kifayah, atau mubah. Ini membantu kita dalam mengukur nilai dan kemuliaan dari apa yang kita upayakan.
Memuliakan Hidup dengan Niat dan Syariat
Narasumber memulai dengan membahas tentang tujuan berkeluarga dan berketurunan. Seringkali, orang tua menginginkan keturunan agar bisa dibanggakan di hadapan Allah atau umat lainnya. Namun, penting untuk memahami bahwa niat memiliki anak itu harus memiliki makna yang lebih dalam.
Dalam Islam, salah satu niat mulia dalam memiliki anak adalah untuk menyenangkan hati Nabi Muhammad ﷺ (إِدْخَالُ السُّرُوْرِ فِي قَلْبِ النَّبِيِّ). Ini adalah niat yang luar biasa karena anak yang dilahirkan dengan niat ini diharapkan akan menjadi mujahid, ulama, pemimpin umat, atau pengembang dakwah.
Hadis ini menunjukkan anjuran untuk memiliki keturunan yang banyak, dan ketika niatnya adalah untuk memperbanyak umat Islam yang berkualitas, maka ini menjadi kemuliaan tersendiri. Niat yang mulia ini, yang disebut "syaraf al-matlub" (شَرَفُ الْمَطْلُوبِ) atau kemuliaan dari apa yang dicari, akan menentukan nilai dari setiap perbuatan. Niat untuk melahirkan anak yang akan menjadi pejuang, ulama, atau pemimpin peradaban, sudah dinilai sebagai kemuliaan yang luar biasa.
Kaidah "Syaraf Al-Matlub bi Syarofi Nata'ijihi"
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107)\
Memperjuangkan syariat Islam berarti berjuang untuk menghadirkan kemaslahatan (jalban lil masalih) dan menolak kerusakan (daf'an 'anil mafasid), yang merupakan inti dari rahmatan lil 'alamin. Ini adalah tujuan hidup setiap manusia yang menginginkan ketentraman. Oleh karena itu, perjuangan menegakkan syariat Allah adalah perjuangan yang paling mulia dan wajib mendapat perhatian penuh (tajibul inayah).
"Agama itu adalah pondasi, dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa yang tidak memiliki pondasi akan roboh, dan apa yang tidak memiliki penjaga akan hilang." (Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I'tiqad)\
Ini menunjukkan bahwa kehidupan yang baik dan teratur (dunia dan akhirat) tidak hanya berasal dari kebaikan individu, tetapi juga dari adanya sistem yang mengatur kebaikan tersebut, yaitu syariat Allah. Tanpa syariat, kebaikan tidak akan terintegrasi menjadi sebuah sistem yang menyeluruh.
Pentingnya Perhatian Kita
Kadar besar atau kecilnya hasil yang kita panen tergantung pada kadar besar atau kecilnya perhatian kita terhadap perkara-perkara yang mulia tersebut. Jika umat Islam cuek terhadap agamanya, terhadap penghinaan Nabi, maka jangan harap akan memanen rahmatan lil 'alamin. Imam Al-Mawardi, yang hidup pada masa Khilafah Abbasiyah dan menjadi seorang Qadhi, menulis kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah sebagai upaya untuk mengembalikan umat ke jalannya. Beliau melihat kemerosotan umat pada zamannya, dan kondisi ini semakin parah di zaman sekarang.
Penjelasan Ibnu Khaldun dalam kitab Al-'Ibar juga relevan, di mana beliau menjelaskan bahwa orang Arab yang semula buas bisa berubah menjadi ahli ibadah berkat Islam, namun ketika mereka meninggalkan Islam, mereka kembali pada sifat asalnya. Ini menegaskan bahwa syariat Islamlah yang dapat membimbing manusia menuju fitrah kemanusiaan mereka yang hanif, mampu memimpin peradaban dengan kekuatan yang Allah berikan.
Oleh karena itu, perhatian ulama di masa lalu terhadap perkara-perkara ini sangatlah besar, karena mereka memahami bahwa panen kebaikan di dunia dan akhirat sangat bergantung pada kadar perhatian umat terhadap agama dan syariatnya.
Di dunia ini, hidup kita diatur oleh syariat agama agar bisa mencapai kebaikan di akhirat. Syariat adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan Allah sebagai pencipta, dan dengan akhirat sebagai tempat kembali. ----- \Pertanggungjawaban Amal di Akhirat\
Setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya sendiri di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَىٰ كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ\
Artinya: "Dan sungguh, kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami menciptakan kamu pada mulanya." (QS. Al-An'am: 94)\Oleh karena itu, Hasan Al-Basri mengatakan, "Untuk apa aku peduli dengan omongan orang? Aku lahir sendiri, hidup dengan amal-amal sendiri, mati sendiri, dan di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban atas amalku sendiri."
Ini menunjukkan betapa pentingnya fokus pada diri sendiri dan ketaatan kepada syariat. Syariat diturunkan untuk mengatur hidup kita agar terarah menuju akhirat yang baik.
Dua Jalan Hidup: Kebaikan dan Kejahatan\
Allah SWT telah menunjukkan kepada kita dua jalan: jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Firman-Nya:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا\
Artinya: "Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 7-10)
Kita sendirilah yang memilih jalan mana yang akan kita tempuh. Jika kita memilih jalan yang benar dan taat pada syariat, maka kebaikan di akhirat sudah "di-set up" sejak di dunia.
Sebagai contoh, dalam hadis disebutkan bahwa wanita yang shalihah, taat kepada suaminya, dan wafat dalam keadaan suaminya ridha, akan dipersilakan masuk surga dari pintu mana saja. Ini adalah bukti nyata bahwa ketaatan di dunia akan membuka pintu kebaikan di akhirat.
Syarat Diterimanya Amal
Para sahabat sangat mengkhawatirkan diterimanya amal mereka, meskipun mereka sudah beramal dengan benar sesuai tuntunan Nabi. Ini karena ada dua syarat diterimanya amal:
Benar sesuai tuntunan Nabi:Ini adalah aspek zahir (lahiriah) yang bisa dipastikan dengan ilmu fikih, yang mencakup syarat dan rukun.Integrasi Agama dan Dunia
Kehidupan yang baik di dunia tidak dapat dipisahkan dari agama. Jika agama lurus, ibadah menjadi sah. Jika kehidupan dunia baik karena diatur syariat, kebahagiaan akan sempurna. Imam Al-Ghazali mengatakan, "Agama dan kekuasaan (dunia) itu seperti dua saudara kembar." Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Prinsip ini dikenal dengan "maslahatul maddati birruh", yaitu mengintegrasikan antara materi dan roh. Hidup di dunia ini harus dilandasi oleh kesadaran bahwa kita diawasi, dilihat, dan dikontrol oleh Allah (roh). Dengan begitu, hidup akan tenang, bersih, dan kita akan menjalankan titah Allah dalam setiap ucapan dan perbuatan. Ketika ini terwujud, ketenangan lahir dan batin akan kita dapatkan.
Pendekatan Komprehensif dalam Penjelasan Ilmu
Pendekatan ini bertujuan agar pemahaman yang didapatkan tidak hanya rasional tetapi juga menyentuh hati, sehingga tercipta ketenangan dan kegelisahan dapat dihilangkan. Penjelasan tersebut diperkuat dengan dalil dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, serta perumpamaan dari orang-orang bijak dan ungkapan syair para penyair.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam berdakwah: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumen yang kuat) dan mau'izatul hasanah (nasihat yang baik), dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125). Hikmah adalah argumen fuqaha, sedangkan mau'izatul hasanah adalah sentuhan hati yang dibawa oleh para udaba.
Mengapa demikian? Karena hati cenderung cepat bosan jika hanya disuguhi hal yang monoton. Dengan menggabungkan ketelitian akal dan kelembutan hati, diharapkan ilmu yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan menyentuh jiwa.
Variasi: Kunci Menghindari Kebosanan dalam Belajar dan Kehidupan
Pernahkah Anda merasa bosan dengan rutinitas yang monoton? Merasa jenuh dengan gaya belajar atau pekerjaan yang itu-itu saja? Rupanya, rasa bosan ini tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga hati dan jiwa kita. Pentingnya variasi dalam hidup, termasuk dalam menuntut ilmu, menjadi poin utama dalam pembahasan ini. Kita akan melihat bagaimana ulama terdahulu dan bahkan hadis Nabi SAW mengajarkan kita untuk menghindari kebosanan demi kebermanfaatan waktu yang maksimal.
Hati yang Mudah Bosan dan Kebutuhan akan Variasi
Teks ini menjelaskan bahwa karya tulis yang baik menggabungkan berbagai pendekatan. Jika hanya menggunakan satu gaya saja, pembaca akan cepat bosan. Hal ini dianalogikan dengan hati manusia yang juga mudah bosan terhadap sesuatu yang monoton. Sebagaimana disebutkan dalam perkataan, "وَتَكُونُ الْقَلْبُ مِنَ الْعِلْمِ الْوَاحِدِ" (Dan hati itu akan bosan dari satu ilmu/hal yang sama). Artinya, hati juga bisa merasakan lelah, sama seperti tubuh kita.\
Untuk mengatasi kebosanan ini, penting untuk adanya variasi. Variasi tidak harus berarti istirahat total, tetapi bisa berupa beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Misalnya, jika sedang lelah mempelajari satu bidang ilmu, beralihlah ke bidang ilmu yang berbeda. Tujuannya adalah agar waktu tetap bermanfaat tanpa menyebabkan kejenuhan.
Hal ini selaras dengan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong kita untuk memberikan jeda bagi jiwa, agar tidak bosan. Hadis yang relevan dengan pernyataan ini adalah:
"أَنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَهْدَى، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ ضَلَّ"
Artinya: "Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa futur (lemah/jenuhnya). Barangsiapa yang futur-nya menuju sunnahku, maka ia telah mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang futur-nya menuju selain itu, maka ia telah tersesat." (Hadis riwayat Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani)\
Hadis ini menunjukkan bahwa ada kalanya seseorang merasa jenuh atau lemah dalam beramal. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola masa kejenuhan itu agar tetap berada di jalur yang benar, salah satunya dengan variasi aktivitas yang bermanfaat.
Kisah Khalifah Al-Ma'mun dan Pentingnya Pergerakan
Khalifah Al-Ma'mun, putra Harun Ar-Rasyid yang terkenal sangat cerdas, juga menerapkan prinsip variasi dalam kehidupannya. Beliau digambarkan sebagai sosok yang luar biasa ilmunya. Bahkan ketika dihidangkan berbagai macam makanan, beliau mampu menjelaskan khasiat dan akibatnya satu per satu.
Dalam belajarnya, Al-Ma'mun tidak terpaku pada satu tempat. Dikisahkan bahwa di istananya, beliau sering berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kebosanan dan menjaga pikirannya tetap segar. Ini juga sesuai dengan pepatah Arab yang berbunyi:
"النَّفْسُ لاَ تَصْلُحُ إِلَّا بِالتَّنَقُّلِ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ"
Artinya: "Jiwa itu tidak akan bisa diperbaiki kecuali dengan berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain."
Memvariasikan tempat, bahkan sekadar berpindah ruangan di dalam rumah, dapat membantu menyegarkan jiwa. Inilah mengapa dalam hadis lain disebutkan bahwa sebaik-baik rumah adalah rumah yang luas (atau yang nyaman), karena memungkinkan penghuninya untuk berpindah-pindah dan tidak merasa terkekang.
Struktur Kitab dan Tujuan Penulis
Penulis kitab yang dibahas dalam teks ini juga menerapkan prinsip variasi dalam susunan karyanya. Kitab tersebut dibagi menjadi beberapa bab:
- Bab pertama: Keutamaan akal dan celaan terhadap hawa nafsu.
- Bab kedua: Adab terkait ilmu.
- Bab ketiga: Adab agama.
- Bab keempat: Adab dunia.
- Bab kelima: Adab jiwa.