Jihad yang (Pernah) Tak Disukai (Bagian Pertama)
Jihad yang (Pernah) Tak Disukai (Bagian Pertama)
Terdapat banyak riwayat sahih yang menunjukkan betapa aktivitas jihad itu amat dirindukan oleh kaum muslimin. Sebagai contoh, hadis Anas tentang Perang Badar yang di dalamnya disebutkan:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُومُوا إِلَى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ قَالَ يَقُولُ عُمَيْرُ بْنُ الْحُمَامِ الْأَنْصَارِيُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ قَالَ نَعَمْ قَالَ بَخٍ بَخٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَحْمِلُكَ عَلَى قَوْلِكَ بَخٍ بَخٍ قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا رَجَاءَةَ أَنْ أَكُونَ مِنْ أَهْلِهَا قَالَ فَإِنَّكَ مِنْ أَهْلِهَا فَأَخْرَجَ تَمَرَاتٍ مِنْ قَرَنِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ مِنْهُنَّ ثُمَّ قَالَ لَئِنْ أَنَا حَيِيتُ حَتَّى آكُلَ تَمَرَاتِي هَذِهِ إِنَّهَا لَحَيَاةٌ طَوِيلَةٌ قَالَ فَرَمَى بِمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ التَّمْرِ ثُمَّ قَاتَلَهُمْ حَتَّى قُتِلَ
Bersabdalah Rasulullah ﷺ, "Bangkitlah kalian menuju jannah yang luasnya adalah langit dan bumi." Anas berkata, "'Umayr bin al-Ḥumām al-Anṣāri berseru, ‘Ya Rasulullah, surga yang luasnya adalah langit dan bumi?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ 'Umair berdecak, ‘Wah, wah (bakh bakh)!’ Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Mengapa kamu berucap wah, wah?’ ‘Umair menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, kecuali saya berharap termasuk penghuninya.’ Beliau bersabda, ‘Sungguh kamu termasuk penghuninya.’ Dia lantas mengeluarkan kurma dari dalam sakunya dan makan darinya, kemudian berujar, ‘Sekiranya aku masih hidup hingga memakan habis kurma-kurma ini, sungguh itu kehidupan yang amat lama.’” Anas melanjutkan, "Dia pun membuang kurma yang masih tersisa padanya kemudian memerangi mereka hingga gugur." [HR Muslim]
Ada pula kisah yang mirip saat Perang Uhud di mana seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh, maka di manakah aku?” Beliau menjawab,
في الجنة
“Di Jannah.”
Sahabat itu pun membuang kurma-kurma yang ada di tangannya kemudian berperang hingga terbunuh. [Muttafaq ‘alayh]
Kerinduan akan jihad membuat sahabat seperti Zayd bin Ṡābit amat bersedih karena pernah tidak diterima menjadi bagian dari pasukan kaum muslimin dalam Perang Badar dan Uhud lantaran dianggap belum cakap. Ibn ‘Umar pun dulunya ditolak karena dirasa masih sangat belia. Kita juga bisa membaca tentang kesegeraan Julaybib dan Ḥanżalah bin Abī ‘Āmir menyongsong seruan jihad ketimbang menikmati masa-masa berbulan madu. Bahkan ‘Abd Allāh bin Umm Maktūm—sahabat tunanetra yang tentu saja beruzur syar’i sehingga tak wajib berjihad—berulang kali mendesak khalifah untuk mengizinkannya ikut berperang. Masih banyak lagi keterangan yang dapat kita peroleh dalam pelbagai buku sejarah tentang betapa antusiasnya kaum muslimin untuk berjihad di jalan Allah ﷻ. Semoga Allah meridai mereka semua.
Namun, sebelum dirindukan sedemikian rupa, jihad pernah menjadi perkara yang tidak disukai. Dokumentasinya masih bisa kita baca dalam beberapa ayat Alquran, salah satunya adalah ayat ke-216 Surah Al-Baqarah:
كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ لَّـكُمۡ
“Diwajibkan atas kalian berperang padahal itu merupakan perkara yang sangat dibenci bagi kalian…. “
Syaykh Wahbah az-Zuḥayli dalam at-Tafsīr al-Wajīz, mengutip kaul Ibn ‘Abbās raḍiy Allāh ‘anhumā tentang ayat ini:
لما فرض الله الجهاد على المسلمين ، شق عليهم وكرهوا ، فنزلت هذه الأية
“Tatkala Allah mewajibkan jihad atas kaum muslimin, itu terasa berat atas mereka dan mereka tidak menyukai; lalu turunlah ayat ini.”[1]
Ungkapan yang mirip dari ‘Ikrimah juga dikemukakan oleh Al-Wāḥidi dalam at-Tafsīr al-Basīth:
إنهم كرهوه ثم أحبوه ، فقالوا : سمعنا وأطعنا
“Sungguh mereka membencinya kemudian mencintainya, lalu berujar, “Kami mendengar dan kami menaati”.[2]
Ketidaksukaan ini (al-karh/al-kurh) dalam konteks kesulitan (masyaqqah), yakni:
لمشقة الداخلة على النفس وعلى المال من المؤنة وعلى الروح ، لا إن المؤمنين يكرهون فرض الله عز وجل
Kesulitan yang menimpa diri, harta berupa biaya, dan nyawa, bukan karena kaum mukmin membenci kewajiban dari Allāh ‘Azz wa Jall. Demikian penjelasan Az-Zajjāj yang juga dinukil oleh Al-Wāḥidi[3].
Penjelasan Muḥammad Sulaymān al-Asyqar tidak jauh berbeda,
وكان الجهاد كرها لأن فيه إخراج المال ، ومفارقة الأهل والوطن ، والتعرض لذهاب النفس
“jihad dibenci karena padanya ada aktivitas mengeluarkan harta, meninggalkan keluarga dan tanah air, serta mempertaruhkan nyawa”[4].
Penggunaan bentuk masdar “kurh” alih-alih redaksi “makrūh” dalam ayat ini menunjukkan makna sangat (li al-mubālagah) sebagaimana diterangkan, antara lain, oleh al-Bayḍāwi, Ibn Juzay, dan aṣ-Ṣābūni[5].
Artinya, perang memang merupakan perkara yang amat tidak disukai oleh mereka.
Lantas, mengapa sikap mereka bisa berubah drastis, dari yang semula sedemikian membenci jihad menjadi sangat merindukannya?
Rahasianya, di antaranya, ada pada kelanjutan ayat ini. Allah ﷻ mengubah pemikiran serta perasaan mereka sehingga mereka mencintai dan membenci semata karena-Nya. Mereka pun memahami dan menyadari bahwa kebaikan itu terletak pada apa yang Allah perintahkan dan keburukan itu ada pada perkara yang dilarang-Nya. Baik-buruk bukanlah berdasarkan suka-tidaknya manusia.
Kesulitan yang menimpa diri, harta berupa biaya, dan nyawa, bukan karena kaum mukmin membenci kewajiban dari Allāh ‘Azz wa Jall. Demikian penjelasan Az-Zajjāj yang juga dinukil oleh Al-Wāḥidi[3].
Penjelasan Muḥammad Sulaymān al-Asyqar tidak jauh berbeda,
وكان الجهاد كرها لأن فيه إخراج المال ، ومفارقة الأهل والوطن ، والتعرض لذهاب النفس
“jihad dibenci karena padanya ada aktivitas mengeluarkan harta, meninggalkan keluarga dan tanah air, serta mempertaruhkan nyawa”[4].
Penggunaan bentuk masdar “kurh” alih-alih redaksi “makrūh” dalam ayat ini menunjukkan makna sangat (li al-mubālagah) sebagaimana diterangkan, antara lain, oleh al-Bayḍāwi, Ibn Juzay, dan aṣ-Ṣābūni[5].
Artinya, perang memang merupakan perkara yang amat tidak disukai oleh mereka.
Lantas, mengapa sikap mereka bisa berubah drastis, dari yang semula sedemikian membenci jihad menjadi sangat merindukannya?
Rahasianya, di antaranya, ada pada kelanjutan ayat ini. Allah ﷻ mengubah pemikiran serta perasaan mereka sehingga mereka mencintai dan membenci semata karena-Nya. Mereka pun memahami dan menyadari bahwa kebaikan itu terletak pada apa yang Allah perintahkan dan keburukan itu ada pada perkara yang dilarang-Nya. Baik-buruk bukanlah berdasarkan suka-tidaknya manusia.
وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡ
“… Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu terbaik bagi kalian; boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu seburuk-buruknya bagi kalian….” (Al-Baqarah: 216).
Yakni, boleh jadi kalian membenci jihad karena kesulitan yang ada di dalamnya, padahal itu yang terbaik: kalian bisa mengalahkan musuh, meraih kemenangan, memperoleh harta rampasan perang, dan mendapatkan pahala, yang meninggal pun gugur sebagai syahid. Boleh jadi kalian mencintai sesuatu (berdiam diri, meninggalkan jihad) padahal itu seburuk-buruknya bagi kalian: musuh kalian bertambah kuat lalu mengalahkan kalian, menyerang sampai ke pusat negeri kalian, hingga menimpakan atas kalian penderitaan melebihi apa yang kalian takutkan dari jihad yang kalian benci itu; ditambah lagi dalam hal itu kalian kehilangan banyak keutamaan dunia-akhirat. Demikian lebih kurang uraian dalam Zubdah at-Tafsīr.[6]
Allah ﷻ memungkasi ayat ini dengan firman-Nya:
وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ
Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui. [Al-Baqarah: 216]
فيجب التسليم لله تعالى في أمره وشرعه مع حب ما أمر به وما شرعه ، واعتقاد أنه خير لا شر فيه
“Olehnya itu,” tulis al-Jazā
iri, “wajib berserah kepada Allah Ta’ālā, pada perintah dan syariat-Nya, disertai kecintaan akan apa yang diperintahkan dan disyariatkan-Nya serta keyakinan bahwasanya itu merupakan kebaikan, tidak ada keburukan di dalamnya.”[7]
Al-Jazā
iri juga menegaskan pada bagian akhir penafsirannya terhadap ayat ini,أوامر الله كلها خير ، ونواهيه كلها شر؛ فلذا يجب فعل أوامره واجتناب نواهيه
“Perintah-perintah Allah semuanya merupakan kebaikan dan larangan-larangan-Nya seluruhnya merupakan keburukan. Oleh karena itu, wajib mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.”[8]
Di balik beratnya jihad fī sabīl Allāh, ada limpahan kebaikan yang disiapkan-Nya. Hikmah kebaikan itu—yang bahkan kerap tak terduga—dapat kita lihat dari salah satu perang monumental dalam sejarah Islam: Perang Mu
tah (insya Allah bersambung ke bagian dua).
[1] Az-Zuḥayli, Wahbah. 2021. At-Tafsīr al-Wajīz ‘alā Hāmisy Al-Qurān A
l-‘Ażīm. Damaskus: Dār al-Fikr, 35.[2] Al-Wāḥidi, ‘Aliyy. 2018. At-Tafsīr al-Basīṭ. Riyadh: Nasyr wa Tawzī’ Obeikan, 122.
[3] Ibid.
[4] Al-Asyqar, Muḥammad Sulaymān. 2001. Zubdah at-Tafsīr bi Hāmisy Muṡhaf al-Madīnah an-Nabawiyyah. Kuwait: Jam’iyyah Iḥyā` at-Turāṡ al-Islāmi, 33.
Tidak ada komentar untuk " Jihad yang (Pernah) Tak Disukai (Bagian Pertama)"
Posting Komentar