Makna dan Penerapan Kaidah 'Dar’u al-mafâsid' dalam Syariat Islam untuk Kemaslahatan Umat

Kaidah “Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan)” ini terdiri dari dua poin. Pertama, “dar’u al-mafâsid (mencegah kerusakan)”. Kedua, “jalbi al-mashâlih (mengupayakan kemaslahatan)”.

Dua poin ini adalah konotasi dari makna “rahmah (rahmat)” dalam firman Allah SWT:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ

(Kami tidak mengutus kamu (Muhammad)—dengan membawa syariah Islam—kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam) (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Jadi, Nabi saw. diutus dengan membawa syariah Islam tak lain agar menjadi rahmat bagi alam semesta. Konotasi “rahmat[an] li al-‘âlamîn (rahmat bagi alam semesta) di sini adalah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan)”.

Apakah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” Merupakan ‘Illat Hukum?

Namun, apakah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” ini merupakan ‘illat (alasan) dari pensyariatan hukum syariah, baik secara keseluruhan (kulli) maupun perhukum (kullu hukm)? Ataukah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” ini hanya merupakan hikmah, atau dampak dari penerapan hukum syariah? Nah, inilah yang harus didudukkan terlebih dulu.

Bedanya ‘Illat dengan Hikmah

Kita harus membedakan ‘illat dengan hikmah. ‘Illat telah dijelaskan oleh para ulama ushul:

اَلْعِلَّةُ هِيَ الشَّيْءُ الَّذِيْ مِنْ أَجْلِه وَجَدَ الْحُكْمُ, أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هِيَ الأَمْرُ اَلْبَاعِثُ عَلَى الْحُكْمِ, أَيْ لِحُكْمِ, أَيْ اَلْبَاعِثُ عَلَى التَّشْرِيْعِ, لاَ عَلَى الْقِيَامِ وَإِيْجَادِهِ.

‘Illat adalah sesuatu yang menjadi alasan adanya hukum. Dengan kata lain, ‘illat merupakan alasan yang membangkitkan hukum atau alasan yang menyebabkan pensyariatan hukum, bukan alasan untuk mengerjakan dan mewujudkan hukum.

Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menambahkan:

اَلْعِلَّةُ دَلِيْلٌ عَلَى الْحُكْمِ, وَعَلاَمَةٍ عَلَيْهِ, وَمُعَرِّفَةٍ لَهُ, وَلَكِنَّهَا إِلَى جَانِبِ ذَلِكَ هِيَ الأَمْرُ اَلْبَاعِثُ عَلَى الْحُكْمِ.

‘Illat adalah dalil hukum, tanda sekaligus pengenal yang menunjukkan pada hukum. Namun demikian, selain itu ‘illat merupakan alasan yang membangkitkan hukum.

Karena itu ‘illat tidak sekadar dalil, tanda atau sesuatu yang menunjukkan hukum, tetapi sekaligus merupakan sesuatu yang membangkitkan hukum. Karena ‘illat merupakan dalil hukum, maka ‘illat yang bisa diterima adalah ‘illat syar’iyyah (yang dinyatakan oleh wahyu), bukan ‘illat ‘aqliyyah (dinyatakan oleh akal). Dengan kata lain, ‘illat ini harus dinyatakan oleh dalil syariah, bukan akal.

Lebih jauh, baik Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani maupun al-‘Alim al-Ushuli asy-Syuwaiki menjelaskan bahwa hikmah adalah dampak atau hasil (nâtijah) dari penerapan hukum syariah, baik dari masing-masing hukum maupun dari hukum secara keseluruhan.

“Dar’u al-mafâsid” Bukan ‘Illat Hukum

Dari penjelasan tersebut, kita bisa memahami bahwa “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” bukanlah ‘illat hukum, baik satu-persatu hukum maupun hukum syariah secara keseluruhan. Namun demikian, lebih tepat disebut hikmah atau hasil dari penerapan hukum syariah. Itu pun dengan catatan jika hukum syariah tersebut dilaksanakan secara kâffah.

Jika “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” itu bukan ‘illat hukum maka lebih tidak layak lagi diklaim sebagai dalil hukum. Dengan kata lain, kaidah tersebut diklaim sebagai ‘illat saja tidak layak, apalagi diklaim sebagai dalil.

“Dar’u al-mafâsid” Tidak Layak Dijadikan Dalil Hukum

Fakta bahwa “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan)” adalah makna atau tepatnya pendapat yang diambil secara spekulatif (bi azh-zhann) dari dalil syariah, yaitu QS al-Anbiya’ (29) ayat 107, dan bukan dalil syariah itu sendiri, sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa kaidah ini kedudukan hanya sebatas “hukum”, bukan dalil hukum. Jelas, hukum tidak boleh dijadikan sebagai dalil hukum, baik untuk membatasi (taqyîd) kemutlakan (muthlaq), menspesifikkan (takhshîsh) keumuman (‘âm), mendetailkan (tasyîn) keglobalan (mujmal) maupun yang lain.

Karena itu “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” tidak bisa digunakan untuk men-takhshîsh keumuman dalil syariah, seperti kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi mungkar, mulai dari yang ringan hingga yang berat, termasuk mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm) hingga menegakkan Khilafah (iqâmah al-Khilâfah). Apalagi digunakan untuk membatalkan kewajiban yang dinyatakan dengan tegas oleh dalil syariah ini.

Kesimpulan

“Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih” lebih tidak boleh lagi digunakan baik untuk membatasi (taqyîd) kemutlakan (muthlaq), menspesifikkan (takhshîsh) keumuman (‘âm), mendetailkan (tasyîn) keglobalan (mujmal) maupun yang lain.

Dalil tentang kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi mungkar, misalnya nas, baik al-Quran maupun as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ رَأَيۡتَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودٗا

(Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang Allah telah turunkan dan pada hukum Rasul”, niscaya kalian lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya agar tidak (mendekati) kalian) (QS an-Nisa’ [4]: 61).

Nabi saw. bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرَنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ فَتَدْعُوْنَّهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.

(Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, pasti kalian akan memerintahkan untuk mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar, atau Allah akan menjadikan penguasa kalian dari kalangan orang yang jahat, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, namun doa kalian tidak akan dikabulkan) (HR at-Tirmidzi).


 

1. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, edisi Muktmadah, cet. III, 1426 H/2005 M, Juz III/337. Lihat juga, Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz III/17; Ibn Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, Juz II/213; Bayan al-Mukhtashar, Juz III/25.

2. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/337. Ini hampir mirip dengan penjelasan ar-Razi, al-Baidhawi, Ibn as-Subki, as-Shairafi, dari kalangan mazhab Syafii, dan Abu Zaid ad-Dabusi, dan kalangan mazhab Hanafi, dan mayoritas pengikut Asy’ari. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ya’la, Abu al-Khatthab, Ibn ‘Aqil, al-Hulwani, dari kalangan mazhab Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki. Lihat, Hafidz Tsana’ullah az-Zahidi, Taisir al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. II, 1428 H/1997 M, hal. 237-238.

3. Untuk lebih jauh, silahkan rujuk kitab Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/350.

4. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/337. Ini hampir mirip dengan penjelasan ar-Razi, al-Baidhawi, Ibn as-Subki, as-Shairafi, dari kalangan mazhab Syafii, dan Abu Zaid ad-Dabusi, dan kalangan mazhab Hanafi, dan mayoritas pengikut Asy’ari. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ya’la, Abu al-Khatthab, Ibn ‘Aqil, al-Hulwani, dari kalangan mazhab Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki. Lihat, Hafidz Tsana’ullah az-Zahidi, Taisir al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. II, 1428 H/1997 M, hal. 237-238.

5. Lihat, Mukhtashar ar-Raudhah, Juz I/423; Nuzhatu al-Khathir ‘ala Raudhatu an-Nadhir, Juz I/160; Hasyiyah Bukhit ‘ala Nihayati as-Sul, Juz XXXX/261.

6. Muhammad as-Syuwaiki, al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1418 H/1998 M, hal. 48.

7. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/381; Muhammad as-Syuwaiki, al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1418 H/1998 M, hal. 48.

8. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/381; Muhammad as-Syuwaiki, al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1418 H/1998 M, hal. 48.

9. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/348; al-‘Allamah ‘Ali as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1414 H/1994 M, hal. 309.

10. Muhammad as-Syuwaiki, ibid, hal. 207.

11. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/399; Muhammad as-Syuwaiki, ibid, hal. 207; Muhammad ‘Abd al-Karim Hasan, al-Mashalih al-Mursalah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Beirut, hal. 56.

Tidak ada komentar untuk "Makna dan Penerapan Kaidah 'Dar’u al-mafâsid' dalam Syariat Islam untuk Kemaslahatan Umat"