Merekonstruksi Kesadaran Politik Umat

Eksistensi partai politik di tengah masyarakat adalah kemestian. Banyak peran dan tugas yang hanya bisa diemban oleh suatu partai politik yang tidak bisa dilakukan oleh umat. Ketiadaan partai politik di suatu negara akan merugikan masyarakat dan membuat suatu pemerintahan berjalan liar. Tiada yang mengontrol mereka ketika ugal-ugalan, saat para penguasa di belakang setir kekuasaan.

Prof. Dr. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisir. Para anggotanya memiliki nilai, orientasi serta cita-cita yang sama dengan tujuan agar dapat memperoleh kekuasaan politik serta merebut kedudukan politik. Biasanya partai politik akan berusaha meraih tujuannya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka.

Ada hal yang penting digarisbawahi dari penjelasan di atas. Anggota partai politik harus memiliki nilai, orientasi serta cita-cita yang sama. Hal ini menjadi urgen karena partai politik harusnya menjadi lokomotif perubahan yang menarik umat menuju perubahan politik yang sebenarnya. Tidak mungkin ada perubahan jika partai politik justru zonder nilai, orientasi dan cita-cita yang luhur.

Kelumpuhan Parpol

Sayang, sekarang ini partai politik justru banyak mengalami degradasi dalam hal-hal seperti itu. Dalam bahasa lugasnya, banyak parpol justru mengidap deideologi. Kehilangan integritas pada ideologi. Bisa dikatakan parpol yang berkiprah di masyarakat nyaris zonder ideologi.

Hal ini berdampak pada kegagalan mengintegrasikan anggota-anggotanya menjadi satu entitas, apalagi meyakini ideologi yang dianut. Akhirnya, parpol bukan membentuk kelompok, tetapi sekadar kerumunan atau parahnya menjelma menjadi sebuah gerombolan politik. Keluar-masuk anggota, terbelah atau anggotanya beramai-ramai keluar lalu mendirikan parpol baru, atau menyeberang ke partai penguasa. Lebih parah, tidak sedikit elit parpol yang terjerat kasus korupsi.

Tidak aneh jika tingkat kepercayaan publik pada parpol terus merosot, utamanya karena kasus korupsi. Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia di tahun 2022 menunjukkan tingkat kepercayaan publik pada partai politik mencapai kurang dari 54 persen.

Partai politik sekarangi ini banyak diisi oleh kalangan pragmatis dan oportunis. Hal itu karena parpol tidak mensyaratkan ideologi sebagai asas penyatuan para anggotanya. Parpol menjadi terbuka untuk siapa saja, terutama yang memiliki basis massa, kekuatan modal dan popularitas. Banyak orang bergabung dengan parpol dilandasi kepentingan pribadi atau kelompok yang tidak terintegrasikan dengan ideologinya.

Akibatnya, parpol sering dikuasai oleh para pemilik modal dan pemilik kantong-kantong massa. Bukannya mewarnai, mereka malah terwarnai oleh ideologi dan kepentingan sebagian anggotanya yang punya daya tawar politik yang tinggi terhadap para pimpinan partai. Parpol pun tersandera berbagai kepentingan yang dibawa oleh anggota-anggotanya. Terseret menjadi pragmatis dan oportunis. Sekalipun itu adalah partai politik yang menamakan dirinya sebagai partai Islam.

Sulit berharap parpol-parpol seperti itu akan membawa umat menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka menawarkan nilai yang sama hanya dengan kemasan yang berbeda. Dalam Pilkada dan Pilpres, misalnya, parpol-parpol yang semula tampak berseberangan bisa menyatu karena kepentingan yang sama. Kuncinya adalah transaksi politik yang menciptakan beragam negosiasi politik.

Maka dari itu, tidak ada perubahan massif dari parpol-parpol seperti ini. Mereka tidak mengantarkan Islam pada kekuasaan, tetapi sekedar mengantarkan orang beragama Islam ke kursi jabatan. Pragmatisme dan sikap oportunis telah mencegah Islam menjadi sistem yang menyelamatkan umat.

Ironinya, para elit parpol ini justru menyalahkan para pemilih Muslim yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih partai Islam yang menurut mereka menjadi penyebab partai-partai Islam tidak berkuasa di legislatif ataupun pemerintahan. Padahal, sikap meninggalkan ideologi Islam itu yang sebenarnya menjadi penyebab kegagalan perjuangan politik mereka.

Merekonstruksi Sikap Politik

Saatnya partai politik Islam bersama umat merekonstruksi sikap politik Islam yang sahih. Ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama: Secara personal setiap Muslim harus memiliki kesadaran politik (wa’yu as-siyasi) yang benar. Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya Al–Fikr al-Islaam menyebutkan ada dua komponen seseorang dikatakan memiliki kesadaran politik: (1) memiliki pandangan universal tidak terbatas pada negeri kaum Muslim tempat ia tinggal saja, tetapi harus secara global; kesadaran politik itu mengharuskan dirinya memiliki arah pandang yang khas (zawiyah khashshah) dalam menilai setiap persoalan dan peristiwa politik, dan memiliki kesadaran global.

Keliru besar jika seorang politisi Muslim membatasi pandangannya hanya pada negeri-negeri Muslim, apalagi hanya pada negerinya. Sejak lama hampir tidak ada peristiwa politik yang menentukan nasib dunia Islam melainkan sebagai dampak sikap politik negara-negara Barat dan berdampak pada dunia secara umum.

Penjajahan yang terjadi di tanah air oleh sejumlah negara seperti Portugis, Belanda dan Jepang, juga invasi Inggris, termasuk berbagai perundingan kemerdekaan hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, adalah bukti bahwa tidak ada satu pun negara di dunia terlepas dari pengaruh negara lain secara global.

Kebijakan War on Terorrism yang dicanangkan AS, juga isu radikalisme, adalah strategi global Barat, terutama AS, terhadap Islam dan kaum Muslim. Samuel Huntington lewat bukunya, Clash of Civilitazation, sudah memberikan lampu kuning pada Gedung Putih akan rivalitas sekaligus ancaman Cina dan Islam terhadap Amerika Serikat.

Perseteruan antara AS dan Cina dalam konflik Laut Cina Selatan, pembentukan aliansi AUKUS, adalah manuver politik negara-negara Barat untuk meluaskan arah politik dan ekonomi mereka ke kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, yang dianggap sebagai daerah pertarungan ekonomi baru yang besar setelah Eropa. Untuk itulah dibentuk kerja sama APEC. Selain juga sebagai langkah membendung pengaruh Cina di kawasan tersebut.

Jika parpol Islam dan kaum Muslim tidak punya kesadaran politik global, mereka akan terperangkap dalam isu-isu lokal yang sebenarnya berasal dari kebijakan asing terhadap sejumlah kawasan di dunia. Mereka tidak akan bisa mengantisipasi dan memberikan perlawanan terhadap manuver politik negara-negara besar.

Selanjutnya, kesadaran politik itu harus dibangun berdasarkan pandangan khas (zawiyah khashshah), yakni Islam. Parpol dan umat harus melepaskan sikap pragmatis dan oportunis; hanya memburu kemaslahatan individual atau komunal/parpol seperti kepentingan ekonomi, atau sekedar memburu kemenangan di Pemilu, Pileg, Pilkada, dsb.

Tidak sedikit politisi Muslim, juga parpol, yang mengikuti arus mainstream opini moderasi beragama sebagai lawan dari radikalisme keagamaan. Hal ini kombinasi ketidakjelian dan ketidakkonsistenan terhadap sudut pandang Islam dalam menilai berbagai isu dan kejadian politik. Mereka malah turut mengkampanyekan arus moderasi keislaman dan keagamaan, sebagaimana mereka juga meyakini demokrasi adalah solusi atas persoalan yang dihadapi umat.

Kedua: Bagi partai politik Islam, satu-satunya perubahan yang dituju adalah menuju Islam dengan metode perjuangan yang juga sesuai Islam. Semestinya tertanam dalam diri para pelaku politik bahwa akar dari beragam persoalan yang dihadapi umat adalah adalah ketiadaan penerapan Islam secara total. Hal ini mesti mengkristal dalam diri setiap anggota partai Islam dan menjadi agenda dakwah mereka kepada umat. Seruan mereka hanya satu: mengajak umat ke arah perubahan dengan Islam dan menuju Islam.

Di antara faktor penyebab kegagalan partai-partai Islam adalah seruan yang mereka arahkan pada umat itu ambigu. Nyaris tak ada perbedaan dengan seruan parpol-parpol sekuler. Bahkan tertangkap kesan partai Islam justru merasa inferior untuk menyeru umat ke arah Islam. Seruan Islam yang disampaikan sering di-blend dengan pemikiran asing seperti Islam moderat, religius-nasionalis, demokrasi Islam, dsb.

Hal ini mengindikasikan terjadinya persoalan besar pemahaman Islam yang diusung kelompok atau partai-partai Islam yang bergerak di tengah umat. Ini bisa disebabkan karena tidak jernihnya pemahaman Islam yang mereka adopsi, tidak ada keseragaman ide dasar yang akan dikembangkan oleh mereka dan terbuka terhadap berbagai pemikiran yang menjadi arus utama di tengah masyarakat. Lalu itu yang mereka jadikan sebagai pijakan dalam perjuangan politik mereka.

Bisa pula karena pemikiran Islam yang ambigu tersebut lahir sebagai sebuah strategi politik untuk mendapatkan dukungan dari umat. Ada kekhawatiran jika menyuarakan Islam secara terbuka dinilai sebagai sikap frontal yang bisa membuat umat ketakutan lalu meninggalkan mereka. Namun, sikap seperti ini bukannya mencerdaskan umat dan menjernihkan persoalan, malah justru membuat umat kian terpuruk dalam beragam pemikiran asing yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.

Itulah sebabnya, Muhammad Ismail dalam bukunya, Fikr al-Islaam, menyebutkan bahwa ketaatan harus menjadi satu watak, dan penolakan terhadap suatu perintah adalah perbuatan keji yang menjijikkan dan dibenci. Artinya, partai-partai politik Islam harus berada di garda terdepan dalam menunjukkan loyalitasnya pada Islam dan terdepan pula menolak berbagai sikap penguasa yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Bukan malah membaur dan menerima berbagai perilaku rezim yang merusak umat.

Selain itu, partai politik Islam mestinya tidak menolerir dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki sikap pembelaan terhadap Islam, atau malah menyakiti Islam dan kaum Muslim. Dalam sistem politik demokrasi, sering partai politik Islam mempertimbangkan koalisi dengan parpol-parpol sekuler atau sosialis, untuk memenangkan kursi kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif.

Sistem demokrasi yang mensyaratkan proporsional tertentu menjadi godaan parpol-parpol Islam untuk berkoalisi dengan beragam parpol demi terpenuhinya syarat tersebut. Untuk kepentingan tersebut mereka kadang harus melakukan transaksi politik dengan kelompok lain yang mengusung sekulerisme, misalnya, pro pada kebijakan kapitalisme dan oligarki. Padahal kelompok-kelompok tersebut mau saja berkoalisi dengan parpol Islam bukan karena ideologi keislamannya, tetapi demi kepentingan dan kemaslahatan kelompok mereka sendiri. Sudah berulang terjadi akhirnya umat Muslim hanya menjadi pendorong mobil mogok untuk selanjutnya ditinggalkan, kecuali mereka mau melepaskan identitas keislamannya.

Sejauh ini, tidak pernah ada pertobatan politik dari kelompok dan parpol-parpol Islam tersebut meski berulang dikecewakan. Padahal Nabi saw. mengingatkan:


لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْن

Tidak selayaknya seorang Mukmin dipatuk ular dari lubang yang sama sebanyak dua kali (HR al-Bukhari dan Muslim).

Di tengah krisis partai politik yang terjadi, umat harus merekonstruksi pemikiran politik mereka; membangun loyalitas hanya pada Islam dan memperjuangkan hak-hak kaum Muslim; melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok; menjaga kemurnian perjuangan; serta mencetak kader-kader yang berintegritas pada ideologi Islam, bukan pada yang lain.

Kelompok dan partai politik Islam juga jangan mempertimbangkan apakah umat akan meninggalkan atau mendukung mereka. Satu-satunya yang harus jadi fokus adalah meme-x nangkan Islam. Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana bisa Islam akan menang tanpa dukungan umat?  Harusnya yang ditanyakan adalah; bagaimana Allah akan memenangkan parpol Islam dan kaum Muslim jika yang diseru adalah selain Islam, atau mencampuradukkan Islam dengan pemikiran yang batil, atau bersekutu dengan kelompok-kelompok yang tidak punya loyalitas terhadap Islam?

Tugas partai politik Islam adalah membangun kesadaran dan pemahaman Islam yang benar di tengah umat, tanpa mengkamu-flasenya dengan lain. Untuk itu diperlukan determinasi yang tinggi dari parpol Islam dan para politisi Islam. Maka dari itu, kesabaran dalam perjuangan menjadi salah satu kunci perjuangan politik Islam. Rasulullah saw. bersabda:


وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَن الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran,  jalan keluar itu bersama kesulitan dan kesulitan itu bersama kemudahan (HR at-Tirmidzi).


WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [M. Iwan Januar]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama