Apakah Hadis Dha'if Boleh Dijadikan Hujjah? Panduan Lengkap dari Para Ulama


Berikut adalah jawaban lengkap mengenai masalah apakah hadis dha'if boleh dijadikan hujjah, disertai teks Arab dan sumber rujukannya:

Bolehkah Hadits Dha’if Dijadikan Hujjah?

Soal: Apakah boleh berargumen dengan hadis yang dianggap lemah (dha'îf)? Sebagai contoh, hadis tentang ar-Rayah dan al-Liwa’ atau hadis tentang akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah?

Jawab:

Pertama: Menurut para ulama hadis yang mu'tabar:

اَلضَّعِيْفُ : هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ فِيْهِ صِفَاتِ الصَّحِيْحِ وَلا صِفَاتِ الْحَسَنِ

Artinya: "Hadis dha'îf adalah hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat hadis shahih dan sifat-sifat hadis hasan." (Sumber: Al-‘Iraqi, "Al-Mughni fi al-‘Ilm al-Hadith", 1/67)

Kedua: Keliru menilai hadis dha'îf hanya karena datang dari berbagai jalur yang sama-sama dha'îf. Derajatnya tidak meningkat menjadi hadis hasan atau shahih. Jika kelemahan hadis tersebut disebabkan oleh kefasikan perawinya, atau karena tertuduh dusta secara nyata, dan datang dari jalur lain yang serupa, maka hadis tersebut akan semakin bertambah lemah.

Ketiga: Hadis dha'îf memang tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum syariah. Namun, meski dha'îf, hadis tersebut tidak serta-merta harus ditolak begitu saja. Lebih tepat untuk menyatakan bahwa hadis tersebut dha'îf menurut jalur tertentu. Dalam hal ini, Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:

فَلاَ يُرَدُّ حَدِيْثٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَوْفِ شُرُوْطَ الصَّحِيْحِ مَا دَامَ سَنَدُهُ وَرُوَّاتُهُ وَمَتَنُهُ مَقْبُوْلَةً، أَيْ مَتَى كَانَ حَسَناً بِأَنَّ كُلَّ رِجَالِهِ أَقَلَّ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيْحِ، أَوْ كَانَ فِيْهِ مَسْتُوْرٌ أَوْ كَانَ فِيْهِ سَيِّءٌ الْحِفْظِ وَلَكِنْ تَقَوَّى بِقَرِيْنَةٍ تَرَجِّحُ قَبُوْلَهُ، كَأَنْ يَتَقَوَّى بِمُتَابِعٍ أَوْ شَاهِدٍ.

Artinya: "Sebuah hadis tidak tertolak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih, selama sanad, perawi dan matannya diterima. Jika hadis tersebut hasan, yaitu para perawinya lebih rendah kualitasnya daripada para perawi hadis shahih, atau jika ada yang mastûr (tersembunyi) atau perawi yang buruk hapalannya tetapi diperkuat oleh indikasi yang menguatkan penerimaan, seperti adanya muttabi' (penguat) atau syâhid (saksi). Jadi menolak hadis tidak boleh serampangan." (Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, "As-Siyasah al-Shar'iyyah", hal. 175)

Keempat: Dalam menggunakan hadis untuk menjadi hujjah atau dalil hukum syariah, status hadis tersebut diterima sebagai dalil adalah bagi orang yang menggunakannya, meskipun bagi orang lain mungkin tidak. Dalam hal ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:

إِلَّا أَنَّ اِعْتِبَارَ الْحَدِيْثِ صَحِيْحًا أَوْ حَسَنًا إِنَّمَا هُوَ عِندَ الْمُسْتَدِلِّ بِهِ إِنْ كَانَتْ لَدَيْهِ الأَهْلِيَّة لِمَعْرِفَةِ الْحَدِيْثِ.

Artinya: "Menilai sebuah hadis sebagai shahih atau hasan hanyalah menurut orang yang menggunakannya sebagai hujjah, jika ia memiliki kemampuan untuk menilai hadis tersebut." (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, "As-Siyasah al-Shar'iyyah", hal. 180)

Contoh Kasus Hadis Dha'if yang Diterima oleh Para Ulama:

  1. Hadis tentang ar-Rayah dan al-Liwa’: Hadis ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra.:

    كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ، مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ

    "Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa'-nya berwarna putih, bertuliskan, 'Lâ Ilâha illalLâhu Muhammad RasûlulLâh.'" (Dikeluarkan oleh ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath)

    Hadis ini dikategorikan dha'îf oleh sebagian ahli hadis karena adanya perawi yang dianggap lemah, namun sebagian ulama seperti Ibn Hibban menilai perawi tersebut tsiqah. Oleh karena itu, beberapa ulama menerima hadis ini sebagai hujjah.

  2. Hadis tentang Kembalinya Khilafah: Hadis ini diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra.:

    تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ...

    "Akan ada kenabian di tengah-tengah kalian, dan dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian..." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya)

    Hadis ini dipandang shahih oleh sebagian ulama, namun ada yang mempertanyakan kelemahan sanadnya. Meski begitu, sebagian fuqaha menerimanya sebagai hujjah.

Kesimpulan:

Hadis dha'îf tidak bisa dijadikan hujjah secara mutlak dalam menetapkan hukum syariah. Namun, hadis dha'îf yang diterima oleh banyak ulama dan diperkuat oleh penguat atau syâhid, dapat digunakan sebagai hujjah dalam beberapa kondisi. Status penerimaan atau penolakan hadis sebagai hujjah bergantung pada keahlian orang yang menggunakannya serta kesepakatan para ulama dalam konteks tertentu.

Catatan Kaki:

  1. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet, I/338; Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H/1989 M, hal. 337.
  2. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/338.
  3. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/339.
  4. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/342.
  5. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/345.
  6. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/346.
  7. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/348.
  8. At-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, I/77.
  9. Ibn ‘Adi, Al-Kâmil, II/658.
  10. Al-‘Allamah al-Muhaddits ‘Abd al-Hayyi al-Kattani, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah, at-Tarâtib al-Idâriyyah, Syarikah Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, I/264-266.
  11. Al-Hafidz Muhammad bin Yusuf as-Syami as-Shalihi, Subul al-Huda wa ar-Rasyad, VII/373.
  12. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Dar al-Hadits, cet. I, 1416 H, XIV/163.
  13. Abu Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dâwud, Dar Hijr, I/349-350.
  14. Al-Baihaqi, Dalâ’il an-Nubuwwah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1408 H, VI/491.
  15. Al-Hafidz Ibn al-Jauzi, Jâmi’ al-Masânid, Maktabah ar-Rusyd, cet. I, 1426 H, II/309-310.
  16. Al-Hafidz Ibn Katsir, Jâmi’ al-Masânid wa as-Sunan, Dar al-Fikr, cet. 1415 H, III/352-353.
  17. Al-Hafidz Ibn Hajar al-Haitsami, Bughyah ar-Râ’id fi Tahqîq Majma’ az-Zawâ’id, Dar al-Fikr, cet. 1415 H, V/341-342.

Tidak ada komentar untuk "Apakah Hadis Dha'if Boleh Dijadikan Hujjah? Panduan Lengkap dari Para Ulama "