Persiapan Menerima Perkataan Yang Berat



Persiapan Menerima Perkataan Yang Berat

إِنَّا سَنُلۡقِي عَلَيۡكَ قَوۡلٗا ثَقِيلًا ٥  إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّيۡلِ هِيَ أَشَدُّ وَطۡ‍ٔٗا وَأَقۡوَمُ قِيلًا ٦ إِنَّ لَكَ فِي ٱلنَّهَارِ سَبۡحٗا طَوِيلٗا ٧  وَٱذۡكُرِ ٱسۡمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلۡ إِلَيۡهِ تَبۡتِيلٗا ٨

Sungguh Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebi kuat (mengisi jiwa) dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.(Tafsir QS al-Muzzammil [73] 5-8)

 Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

إِنَّا سَنُلۡقِي عَلَيۡكَ قَوۡلٗا ثَقِيلًا ٥

Sungguh Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu.

Setelah memerintah Nabi saw. untuk melaksanakan shalat malam dan membaca al-Quran dengan tartil seraya merenungkan, memikirkan dan memahami isinya, kemudian Allah SWT beralih menyebutkan alasan perintah tersebut.1 Menurut Fakhruddin ar-Razi, seolah-olah Allah SWT berfirman, “Sungguh Aku memerintahkan engkau mendirikan shalat malam karena Kami akan memberikan kepadamu perkataan yang agung.”2

Ada juga yag mengatakan bahwa ayat ini merupakan i’tirâdh (kalimat sisipan) di antara perintah shalat malam dengan ta’lîl (alasan) perintah yang disebutkan dalam ayat sesudahnya: إِنَّ نَاشِئَةً اللَّيْلِ (Sungguh, bangun malam itu). Tujuan dari kalimat sisipan tersebut untuk memudahkan shalat yang dibebankan kepada beliau. Seolah dikatakan, “Sungguh shalat malam, sekalipun sangat berat bagimu, adalah lebih mudah daripada taklif-taklif lainnya. Lalu Kami menurunkan perkataan yang berat.” Demikian menurut Abu ath-Thayyib al-Qinauji.3

Ayat ini diawali dengan kata: إِنَّ (sungguh) yang merupakan harf at-ta‘kîd, yakni untuk mengukuhkan berita yang disebutkan sesudahnya. Diberitakan: سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً (Kami menurunkan kepadamu perkataan yang berat).

Kata نُلْقِي merupakan al-fi’l al-mudhâri’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang atau akam datang). Ditambahkan padanya huruf as-sîn untuk menunjukkan makna li al-istiqbâl (masa yang akan datang).4

Diberitakan, yang akan diwahyukan kepada Rasulullah saw. adalah قَوْلاً ثَقِيلاً (perkataan yang berat). Yang dimaksud dengan قَوْلاً adalah al-Quran.5 Makna قَوْلاً (perkataan) adalah al-Quran, menurut menurut asy-Syinqithi, hal itu telah maklum, sebagaimana disebutkan dalam QS at-Takwir [81]: 19, al-Qashash [28]: 51, ath-Thariq [86]: 13) dan an-Nisa’ [4]: 122).6

Ada yang menyebutkan, قَوْلاً ثَقِيلاً (perkataan yang berat) yang merupakan murakkab washfiyy7 itulah yang bermakna al-Quran.8 

Secara bahasa, kata ثَقِيل merupakan shifah musyabbahah dari kata ثقُلَ – يَثقُل ثِقَلاً وَثَقَالةً (berat), lawan dari kata خَفِيْف (ringan). Menurun Ibnu Faris, kata ثِقَلٌ dari kata yang berasal dari huruf ats-tsâ, al-qâff dan al-lâm itu terbentuk berbagai kata yang maknanya berdekatan, yakni lawan dari الْخِفَّةِ (ringan).9

Tentang yang dimaksud dengan tsaqîl (berat) dalam ayat ini, ada beberapa penjelasan. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud berat bermakna hakiki, yakni secara fisik perkataan tersebut memang berat.10 Pendapat ini didasarkan pada riwayat-riwayat sahih yang menceritakan bahwa Nabi saw. merasakan beban yang sangat berat ketika menerima al-Quran.

Menurut Zaid bin Tsabit ra., pernah diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw., sedangkan pahanya berada di bawah paha beliau. Lalu terasa tulang pahanya patah karena tertindih oleh paha Rasululullah saw. karena sangat beratnya wahyu yang sedang turun kepada beliau (HR al-Bukhari).

Beratnya wahyu juga disampaikan oleh Rasulullah saw. sendiri. Abdullah bin Amr ra. pernah bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, apakah engkau merasakan wahyu (ketika diturunkan kepadamu)?”  Beliau menjawab:

نَعَمْ أَسْمَعُ صَلاَصِلَ ثُمَّ أَسْكُتُ عِنْدَ ذَلِكَ فَمَا مِنْ مَرَّةٍ يُوحَى إِلَىَّ إِلاَّ ظَنَنْتُ أَنَّ نَفْسِى تَفِيضُ

“Benar, aku mendengar suara gemerincingnya lonceng, kemudian aku diam saat itu. Tidak sekali-kali diturunkan wahyu kepadaku melainkan aku mengira bahwa nyawaku sedang dicabut.”  (HR Ahmad).

 Dahsyat dan beratnya peristiwa menerima wahyu ini berbeda-beda. Wahyu yang satu bisa lebih berat dari wahyu lainnya. Yang paling berat adalah seperti gemerincing lonceng. Hal serupa juga digambarkan Aisyah ra. yang menyaksikan Rasulullah saw. ketika menerima wahyu (HR an-Nasa’i). Dalam riwayat lainnya, Aisyah ra. juga berkata:

إِنْ كَانَ لَيُوحَى إِلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَتَضْرِبُ بِجِرَانِهَا

Jika wahyu benar-benar diturunkan kepada Rasulullah saw. saat beliau berada di atas unta kendaraannya, maka unta kendaraan beliau mendekam dengan meletakkan bagian dalam lehernya ke tanah (HR Ahmad).

 Artinya, unta itu tak sanggup menahan beban Rasulullah saw. yang sedang menerima wahyu. Lalu ia terduduk sampai perutnya menempel ke tanah. Ibnu Jarir ath-Thabari juga menceritakan dari Urwah ra. “Nabi saw., jika sedang menerima wahyu dan berada di atas unta kendaraannya, unta itu berhenti dan mendekam. Ia tidak dapat bergerak hingga wahyu selesai diturunkan (HR ath-Thabari dalam tafsirnya).11

Semua riwayat itu menunjukkan bahwa berat tersebut adalah dalam arti yang sebenarnya, yakni beratnya dapat dirasakan oleh indera.

Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud berat adalah isinya. Artinya, kandungan isinya yang  berisi taklif, hukum-hukumnya, serta janji dan ancaman sangat berat. Qatadah berkata, “Berat, demi Allah, kewajiban-kewajiban-Nya dan batas-batas-Nya.”12

Mujahid juga berkata, “Perkara halal-haramnya.”13

Al-Hasan menyatakan, “Berat mengamalkannya.”14

Abu al-‘Aliyah berkata, “Berat dengan janji-janji dan ancamannya serta halal-haramnya.”15

Az-Zajjaj juga berkata, “Itu adalah shalat, puasa serta seluruh perintah dan larangan. Tidak dikerjakan oleh manusia kecuali dengan beban yang memberatkannya.”16

Wahbah az-Zuhaili juga berkata, “Kami akan mewahyukan al-Quran dan menurunkannya kepadamu. Di dalamnya terdapat beban-beban kewajiban yang berat bagi manusia, perintah-perintah dan larangan-larangan yang sulit bagi diri manusia; meliputi kewajiban-kewajiban, batas-batas, halal dan haram. Itulah perkataan berat yang memberatkan pelaksanaan syariah-syariah-Nya.”17

Fakhruddin ar-Razi juga menyebutkan di antara penafsiran yang mengatakan bahwa di dalam al-Quran memang terdapat perintah dan dan larangan yang merupakan taklif-taklif yang sulit dan berat bagi para mukallaf secara umum. Secara khusus juga berlaku bagi Rasulullah saw. Sebab, selain harus menanggung untuk dirinya sendiri, beliau juga harus menyampaikan kepada umatnya. Karena itu beratnya al-Quran itu adalah berat mengamalkannya. Tidak bermakna taklif kecuali mengharuskan berat dan susah dalam mengerjakannya.18

Al-Quran disebut sebagai perkataan yang berat karena di dalamnya mengandung taklif-taklif yang sangat berat juga disampaikan oleh banyak mufassir lainnya, seperti az-Zamakhsyari, Jalaluddin al-Mahalli, Abu al-Suud, al-Jazairi, al-Harari, dan lain-lain.19

Ada yang mengatakan berat itu sangat dirasakan oleh kaum kafir. Muhammad bin Kaab berkata, “Berat bagi kaum munafik dan kafir karena di dalamnya terdapat hujjah yang mengalahkan mereka, menjelaskan kesesatan mereka, mencela tuhan-tuhan mereka serta menyingkap berbagai khurafat Ahli Kitab.” 20

Adapun bagi kaum Mukmin, taklif yang berat itu terasa ringan. Al-Husain bin al-Fadhil berkata, “Perkataan yang berat tidak dapat diemban kecuali oleh hati yang dikuatkan dengan taufik Allah dan jiwa yang dihiasi dengan tauhid.” 21

Penjelasan tersebut sebagaimana diterangkan Allah SWT dalam al-Quran QS al-Baqarah [2]: 45-46).22

Demikian pula al-Quran terasa berat bagi orang kafir dan ringan bagi orang beriman serta menarik hati mereka. 23 Terdapat dalam atsar bahwa sebagian salaf melakukan shalat malam seluruhnya dengan surah al-Quran karena kenikmatan dan kepuasan (Lihat: QS al-Qamar [54]: 17).

Itu berat dalam timbangannya, namun berat dalam bebannya. Akan tetapi, Allah SWT meringankan dan memudahkannya bagi orang yang Dia beri petunjuk dan Dia kehendaki.24

Masih tentang berat kandungan isinya. Ada yang mengatakan bahwa al-Quran itu sangat berat. Artinya, satu akal tidak cukup untuk memahami faedah-faedah dan makna-makanya secara keseluruhan. Para mutakallimin menyelami perkara-perkara di dalamnya yang rasional. Para fuqaha mendekatinya dari hukum-hukumnya. Demikian juga para ahli bahasa, nahwu dan ma’ani. Kemudian orang-orang berikutnya senantiasa mendapatkan berbagai faedah yang belum dijangkau oleh orang-orang terdahulu. Dengan demikian satu orang tidak akan sendirian memikulnya, seolah membawa beban yang sangat berat yang tidak mungkin makhluk bisa membawanya.25

Apa yang disebutkan merupakan makna yang berat juga dikemukakan ats-Tsa’labi. Kemudian dia menyebut Imam Malik yang pernah melarang seseorang bertanya tentang suatu masalah. Orang itu lalu berkata, “ Wahai Abu Abdullah, sesungguhnya itu sesuaatu yang ringan.” Imam pun marah dan berkata, “Dalam ilmu ini tidak ada yang ringan. Tidakkah kamu mendengar Allah SWT berfirman: إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً (Sungguh Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu). Karena itu semua ilmu itu berat.26

Ada juga yang menerangkan bahwa berat yang dimaksud adalah berat timbangannya pada Hari Kiamat. Al-Husain bin al-Fadhl, ketika ditanya ayat ini, berkata, “Maknanya adalah perkataan yang ringa, berat dalam timbangan.”27

Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya al-Quran sangat berat timbangannya pada Hari Kiamat mengisyaratkan kepada banyaknya manfaat dan pahala dalam mengamalkannya.”28

Ini dijelaskan banyak dalil. Di antaranya adalah hadis dari Abu Malik al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw. bersabda:

والحمدُ للهِ تملأُ الميزانَ ، وسُبحانَ اللهِ والحمدُ للهِ تَملآنِ -أو تملأُ- ما بين السماءِ والأرضِ

Al-Hamduli-Llâh” memenuhi timbangan, “SubhânaLlâh” dan “Al-Hamduli-Llâh” keduanya memenuhi di antara langit dan bumi.” (HR Muslim).29

Semua penafsiran tersebut tidak saling menafikan, namun saling menyempurnakan sehingga semuanya dapat diterima. Ibnu Zaid berkata, “Demi Allah, al-Quran itu perkataan berat yang diberkahi. Sebagaimana berat di dunia, dia juga berat timbangannya pada hari Kiamat.”30

Al-Biqa’i juga menghimpun semua pengertian tersebut. Menurut al-Biqa’i, al-Quran disifati dengan tsaqîl (berat) karena di dalamnya terdapat taklif-taklif yang berat dari segi bebannya yabg harus dipikul oleh orang yang orang-orang yang diseru. Sebab, taklif-taklif tersebut bertentangan dengan tabiat dan berlawanan dengan nafsu manusia. Juga sangat berat dari segi lafalnya karena kandungannya penuh makna yang sangat mulia. Tidak akan dapat dipahami oleh orang yang merenungkan dan mengeluarkan permata yang ada di dalamnya kecuali dengan menagerahkan pemikiran, membersihkan keburukan dan mengosongkan pandangan. Dengan demikian al-Quran itu sangat berat dalam semua aspek tersebut serta yang lainnya…Selain itu al-Quran sangat berat dalam timbangannya bagi orang yang menerimanya, serta memiliki bobot, risiko dan nilai yang besar.31

Makna berat mencakup berbagai aspek tersebut juga dinyatakan oleh al-Qinauji, as-Samarqandi, Sayid Thanthawi, dan lain-lain.32

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Bersambung]-[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.].

 

Catatan Kaki:

1        Lihat Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 155. Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa ayat ini merupakan ta’lîl al-amr (alasan perintah) terhadap shalat malam.

2        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 683

3        al-Qinauji, Fath al-Bayân fî Masqâshid al-Qur‘ân, vol. 14 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 383

4        al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 394

5        al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8 (Beirut:  Dar al-Fikr, 1995), 358; Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn (Kairo: Dar al-hadits, tt), 773; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 456

6        al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8 (Beirut:  Dar al-Fikr, 1995), 358; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta‘wîl, vol. 3, 556

7        Yakni, gabungan dua kata yang terdiri dari ism mawshûf (katashifah) dan shifat (kata sifat)

8        Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 156.Lihat juga Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 387 ; al-Tsa’alabi, al-Jawâhir al-Hissân fî tafsîr al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 502; Muhammad Ibnu al-Khathib, Awdhah al-Tafâsîr (Beirut: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1964), 716

9        Ibnu Faris, Maqâyîs al-Lughah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 382. Lihat juga Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008),

10      Lihat al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 681

11      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 681

12      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 38; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 681; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379

13      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 38

14      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 681; al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 6 (Riyadh; Dar al-Qathan, 1997), 78; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379

15      al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 38

16      al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 6, 78

17      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 193

18      Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 683

19      al-Zamakhsyari, al-Kasyasyîf, vol. 4 (beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983), 637-638; Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn, 773; Abu al-Su’ud, Irsyâd ‘Aql al-Salîm ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm, vol. 9 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, tt) , 50; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 457; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 349

20      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 38. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379.

21      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 38; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379

22      al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8, 359

23      Lihat al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8, 359

24      al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8, 359

25      Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 684. Juga dalam Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 2, 262

26      al-Tsa’alabi, al-Jawâhir al-Hissân fî tafsîr al-Qur’ân, vol. 5, 502

27      al-Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur`ân, vol. 10 (Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiyy, 2002), 60

28      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 683-684

29      al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8, 359

30      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 681;

31      al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21, 10

32      al-Qinauji, Fath al-Bayân fî Masqâshid al-Qur‘ân, vol. 14, 383; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4, 338; Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 156-157


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama