Mahjuro (Orang yang Abai terhadap Al-Quran)

KH. Rochmat S Labib

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا

Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan." (QS al-Furqan [25]: 30).

Seputar Ayat Ini

Ayat di atas menceritakan pengaduan Rasulullah saw. kepada Allah Swt. tentang sikap dan perilaku kaumnya terhadap al-Quran. Kendati ayat ini berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ketidakimanan mereka terhadap al-Quran, susunan ayat ini juga mengancam orang yang berpaling darinya secara umum, baik yang tidak mengamalkannya maupun yang tidak mengambil adabnya.[1]

Ucapan Rasulullah saw. itu merupakan pengaduan beliau ketika masih di dunia.[2] Ketika orang-orang musyrik semakin banyak mencela al-Quran, dada beliau terasa sesak, kemudian beliau mengadu kepada Allah Swt.[3] Pendapat inilah yang lebih kuat karena ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

Seperti itulah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (QS al-Furqan [25]: 31).

Ayat berikutnya itu merupakan tasliyah (untuk menghibur hati) Rasulullah saw.[4] supaya tidak terlalu bersedih. Sebab, hal yang sama juga dialami oleh nabi-nabi sebelumnya. Mereka juga memiliki musuh dari orang-orang musyrik yang mengajak manusia pada kesesatan dan kekufuran. Ayat ini memerintahkan Nabi saw. untuk bersabar dan tetap teguh menyampaikan risalah-Nya.[5] Lebih dari itu, Allah Swt. juga berjanji menolong beliau atas musuh-musuhnya: Cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.

Ayat itu juga sebagai ta‘zhîm li as-syikâyah (bentuk pengagungan terhadap pengaduan) Rasulullah saw. sekaligus takhwîf li qawmih (memberikan rasa takut terhadap kaumnya). Sebab, jika para nabi telah menyerahkan (suatu urusan) kepada Allah Swt. dan mengadukan kaum mereka kepada-Nya, berarti telah halal azab atas mereka.[6]

Makna Hajr al-Qur’ân

Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an]. Mahjûr[an] merupakan bentuk maf‘ûl, berasal dari al-hujr, yakni kata-kata keji dan kotor. Maksudnya, mereka mengucapkan kata-kata batil dan keji terhadap al-Quran, seperti tuduhan al-Quran adalah sihir, syair, atau dongengan orang-orang terdahulu (QS al-Anfal [8]: 31).[7] Bisa juga berasal dari al-hajr yakni at-tark (meninggalkan, mengabaikan, atau tidak mempedulikan). Jadi, mahjûr[an] berarti matrûk[an] (yang ditinggalkan, diabaikan, atau tidak dipedulikan).[8]

Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufasir dikategori hajr al-Qur’ân (meninggalkan atau mengabaikan al-Quran). Di antaranya adalah[9] menolak untuk mengimani dan membenarkannya; tidak mentadaburi dan memahaminya; tidak mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangannya; berpaling darinya, kemudian berpaling pada lainnya, baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan, atau tharîqah yang diambil dari selainnya; sikap tidak mau menyimak dan mendengarkan al-Quran; bahkan membuat kegaduhan dan pembicaraan lain sehingga tidak mendengar al-Quran saat dibacakan, sebagaimana digambarkan Allah Swt.:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَ تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ

Orang-orang kafir berkata, "Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya." (QS Fushshilat [41]: 26).

Tidak mau mendengarkan dan mengimani al-Qur’an; tidak mau mengamalkannya; tidak bertahkim kepadanya, baik dalam perkara ushûl ad-dîn maupun furû’-nya; tidak men-tadabburi dan memahami maknanya; dan tidak mau berobat dengannya dalam semua penyakit hati, semua itu menurut Ibnu al-Qayyim terkategori meninggalkan atau mengabaikan al-Quran, sekalipun berbeda-beda tingkatannya.[10] Demikian, beberapa sikap dan perilaku yang dapat dikategorikan sebagai mengabaikan dan meninggalkan al-Quran, adalah:

  1. Menolak untuk mengimani dan membenarkannya;
  2. Tidak mau mendengarkan dan membacanya;
  3. Tidak berusaha men-tadabburi, mengkaji, dan memahami kandungannya;
  4. Tidak mau mengamalkan isinya, termasuk enggan menerapkan hukum-hukumnya; baik dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara.

Semua tindakan termasuk perbuatan yang diharamkan, dengan indikasi ayat berikutnya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ

Seperti itulah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. (QS al-Furqan [25]: 31).

Dalam ayat ini, tampak jelas bahwa orang-orang yang meninggalkan dan mengabaikan al-Quran disejajarkan dengan musuh para nabi dari kalangan orang-orang yang berdosa.

Beberapa Contoh Pengabaian al-Quran

Al-Quran al-Karim adalah kitab yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril as. Tidak mengimani fakta tersebut termasuk mengabaikan al-Quran, bahkan yang paling besar dan serius. Sebab, siapa pun yang mengingkari al-Quran sebagai kalam Allah berarti telah mengingkari sebagian besar bangunan akidah Islam. Sebab, keimanan terhadap sifat dan asmâ’ Allah Swt, keberadaan para malaikat, kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya, para nabi dan rasul yang diutus-Nya, dan Hari Kiamat dengan berbagai peristiwa yang menyertainya didasarkan pada al-Quran. Apabila al-Quran ditolak maka perkara-perkara itu juga pasti ditolak.

Jangankan mengingkari al-Quran, meragukan kebenarannya saja sudah diancam akan dimasukkan neraka dan mendapatkan azab (QS Hud [11]: 17; al-Hajj [22]: 55). Siapa saja yang berpaling darinya akan memikul dosa besar pada Hari Kiamat dan kekal memikul beban yang amat buruk tersebut (QS Thaha [20]: 100-101).

Keimanan pada al-Quran haruslah total, menyeluruh, serta mencakup bagian perbagiannya dan ayat perayat yang ada di dalamnya. Mengingkari satu ayat al-Quran telah cukup menjerumuskan seseorang dalam kekafiran (QS an-Nisa’ [4]: 150-151).

Saat ini, akibat dahsyatnya gempuran pemikiran Barat dan kebodohan umat dalam titik terendah, tidak sedikit yang bersikap ‘diskriminatif’ terhadap al-Quran. Mereka bisa menerima tanpa reserve hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan)[11] sikap yang muncul berbeda. Ayat Kutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat Kutiba ‘alaykum al-qishâsh (diwajibkan atas kalian qishash) dalam QS al-Baqarah [2]: 178, atau Kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang) dalam QS al-Baqarah [2]: 216, muncul sikap keberatan, penolakan, bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap ‘diskriminatif’ ini berujung pada terabaikannya sebagian ayat al-Quran. Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap meninggalkan dan mengabaikan al-Quran.

Al-Quran juga harus diyakini sebagai kalam Allah. Kata dan maknanya berasal dari Allah Swt. Banyak ayat menyatakan, al-Quran seratus persen dari Allah Swt. Rasulullah saw. sama sekali tidak terlibat dalam penyusunannya. Beliau hanya membacakannya kepada kita, seperti firman Allah Swt.:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ

"Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, niscaya Kami memegangnya pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami memotong urat tali jantungnya." (QS al-Haqqah [69]: 44-46).[12]

Pengingkaran terhadap fakta tersebut juga dapat digolongkan sebagai tindakan mengabaikan al-Quran. Contohnya adalah seperti pendapat Nasr Hamid Abu Zayd bahwa al-Quran adalah muntaj al-tsaqâfî (produk kebudayaan). Ia menyatakan, al-Quran bukanlah teks yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata aktual, namun merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad saw. dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya.[13] Menurutnya, dalam mengolah redaksi al-Quran, sebagai manusia, Muhammad saw. tidak bisa melepaskan diri dari situasi dan kondisi yang mengitarinya. Karena beliau merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya, maka al-Quran pun dapat disebut sebagai “produk budaya”.

Pendapat ini tidak hanya dapat mengeluarkan pelontarnya dari keimanan, tetapi juga sangat berbahaya. Akibat pendapat tersebut, banyak hukum al-Quran yang harus ditolak karena dianggap tidak bersesuaian dengan dinamika budaya masyarakat.

Keharusan Daulah Khilafah Islamiah

Al-Quran berisi sistem kehidupan yang harus diterapkan. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89). Berbagai interaksi yang dilakukan manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semua berada dalam wilayah hukum al-Quran.

Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariat. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (sangat penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa Daulah Khilafah Islamiah, banyak sekali ayat al-Quran yang terbengkalai. Padahal, menelantarkan ayat al-Quran—walaupun sebagian—termasuk tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. Oleh karena itu, berdirinya Daulah Khilafah Islamiah harus disegerakan agar tidak ada satu pun ayat yang terlantar.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.


Tidak ada komentar untuk "Mahjuro (Orang yang Abai terhadap Al-Quran)"