Afaat yang Merusak Amal Saleh: Menghindari Riya', Ujub, dan Niat yang Salah
Afaat adalah penyakit atau hal-hal yang bisa merusak amal saleh kita. Kita mungkin merasa telah banyak beramal baik, namun sering kali amal kita tidak diterima oleh Allah karena adanya hal-hal yang merusaknya. Bahkan, sahabat-sahabat Rasulullah yang luar biasa sekalipun, mereka juga diingatkan oleh Allah agar selalu hati-hati dalam menjaga niat dan amal mereka.
Allah mengajarkan kepada kita agar setiap amal yang kita lakukan harus ikhlas hanya untuk-Nya, dan tidak untuk selain-Nya. Dalam kitab ini, Imam Al-Mawardi menggunakan istilah afaat untuk menjelaskan hal-hal yang bisa merusak amal saleh kita.
Sebagai contoh, amal yang terlihat baik namun dilakukan dengan niat yang salah, atau amal yang dilakukan karena riya (ingin dilihat orang lain), atau amal yang tidak dilakukan sesuai dengan sunnah Rasulullah, semuanya bisa merusak amal kita. Ini yang akan kita bahas lebih lanjut dalam kajian kali ini.
Imam al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang bisa merusak amal saleh, yang dalam bahasa beliau disebut afaat. Hal-hal ini bisa datang dari dalam diri kita sendiri, seperti niat yang salah, atau bisa juga datang dari luar, seperti pengaruh dari teman-teman yang salah.
Afaat ini berpotensi besar membinasakan amal saleh kita, bahkan bisa menyebabkan kita merasa tidak mendapatkan pahala meskipun kita sudah berusaha berbuat baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memperbaiki niat dan menjaga keikhlasan dalam setiap amal yang kita lakukan.
Perkara yang Merusak Amal Saleh
Imam al-Mawardi rahimahullah berkata:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya perbuatan ketaatan dan menjauhi maksiat itu memiliki afat (penyakit) yang bisa merusak amal saleh."
Ini adalah suatu peringatan yang sangat penting. Banyak orang yang merasa bahwa amal mereka sudah cukup baik, mereka sudah berusaha untuk melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Namun ternyata, amal tersebut bisa saja rusak dan tidak diterima oleh Allah karena adanya afaat (penyakit) yang mengiringinya.
Seringkali, seseorang merasa yakin bahwa amalnya sudah selesai dan sempurna. Namun, jika tidak berhati-hati, bisa jadi amal tersebut tidak diterima atau bahkan menjadikan seseorang mendapatkan dosa. Ini adalah hal yang sangat mencengangkan, bagaimana bisa seseorang yang berusaha melakukan amal saleh, atau meninggalkan maksiat, malah mendapatkan dosa?
Afaat (Penyakit) yang Merusak Amal
Imam al-Mawardi mengingatkan kita tentang beberapa afaat yang bisa merusak amal saleh kita. Salah satu dari afaat tersebut adalah:
-
Riya' (ingin dilihat orang lain)Terkadang, seseorang merasa bangga dengan amal yang telah dia lakukan. Misalnya, dia merasa bangga karena telah melakukan amal saleh selama bertahun-tahun. Hal ini bisa merusak amalnya, karena dia menganggap amalnya sudah sempurna, dan mungkin berbangga diri dengan amal tersebut. Ini termasuk dalam ujub atau tazkiah (memuji diri sendiri), yang sangat berbahaya.
Dalam kitab al-Qur'an Allah berfirman dalam surah al-Baqarah (2:264):
"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تَرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ"
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengingkari (membatalkan) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (pemberiannya), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang tersebut adalah seperti sebuah batu yang di atasnya ada tanah, kemudian datanglah hujan deras yang menyebabkan tanah itu bersih dan batu tersebut tetap keras, tak mampu memberikan manfaat sedikit pun."
Ini adalah gambaran orang yang melakukan amal hanya untuk riya' (ingin dilihat orang lain), yang amalnya tidak diterima.
-
Ujub (Membanggakan Diri Sendiri)
Ujub adalah membanggakan diri dengan amal yang telah kita lakukan, atau merasa diri lebih baik dari orang lain karena amal yang telah kita lakukan. Ini adalah bentuk penyakit hati yang dapat merusak amal saleh. Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati dan menjaga agar tidak merasa lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain.
Allah berfirman dalam Surah al-Lail (92:6-10):
"إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ، فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ، وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ"
"Sesungguhnya amal kalian adalah berbeda-beda. Maka barang siapa yang memberi dan bertakwa serta membenarkan kebaikan (hari akhir), maka Kami akan mudahkan baginya jalan yang mudah. Dan barang siapa yang kikir dan merasa cukup serta mendustakan kebaikan (hari akhir), maka Kami akan mudahkan baginya jalan yang sulit."
Menghindari Riya' dan Ujub dalam Amal
Imam al-Mawardi menjelaskan lebih lanjut bahwa orang yang melakukan amal saleh dan menjauhi maksiat seharusnya tidak merasa bangga atau berlebihan dalam mengagumi amalnya sendiri. Ini adalah penyakit yang bisa merusak amal tersebut. Dalam kitab Hidayat al-Hidayah karya Imam al-Ghazali, beliau mengajarkan bahwa seorang guru yang melakukan amal di depan muridnya, bukan untuk riya' atau untuk membanggakan amalnya, tetapi untuk memberikan teladan kepada mereka. Ini adalah contoh yang baik dari amal yang benar.
Namun, jika amal tersebut dilakukan dengan niat untuk riya' atau membanggakan diri, maka amal tersebut akan kehilangan nilai dan tidak akan diterima oleh Allah. Keikhlasan adalah syarat utama diterimanya amal saleh. Seseorang yang ikhlas tidak akan merasa perlu membanggakan amalnya karena ia yakin bahwa Allah yang akan menilai amal tersebut.
Pentingnya Keikhlasan dalam Amal
Keikhlasan adalah salah satu syarat diterimanya amal. Seperti yang dijelaskan dalam surah al-Mulk (67:2):
"الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا"
"Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya."
Ayat ini mengingatkan kita bahwa amal kita bukan dilihat dari jumlah atau kuantitasnya, tetapi dari kualitas dan keikhlasan dalam melaksanakannya. Allah menguji siapa di antara kita yang amalnya lebih ikhlas dan benar.
Menghindari Ijab (Membanggakan Diri)
Para ulama, termasuk Imam Al-Mawardi, mengingatkan kita untuk selalu menjaga hati kita dari sifat yang dapat merusak keikhlasan dalam beramal. Salah satu hal yang sangat perlu diwaspadai adalah Ijab atau membanggakan amal yang telah dilakukan. Hal ini sangat berbahaya karena dapat merusak amal kita, bahkan mengarah pada perasaan sombong atau merasa lebih baik dari orang lain.
Jika kita merasa bangga dengan amal yang telah kita lakukan, maka kita berisiko terjatuh dalam kebanggaan diri yang berlebihan. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat tawadhu' (rendah hati) yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dalam hal ini, Al-Mawardi berkata:
Keikhlasan dalam Beramal
Menjaga hati agar tetap ikhlas dalam beramal memang bukan perkara yang mudah. Di sinilah letak kesulitan yang besar. Para sahabat Nabi ﷺ, meskipun amal mereka begitu banyak dan luar biasa, tetap merasa cemas dan berharap rahmat Allah, tanpa merasa telah mendapatkan 'privilege' atau jaminan surga hanya karena kedekatan mereka dengan Rasulullah ﷺ. Mereka tetap merasa seperti orang lain yang harus berusaha dengan sungguh-sungguh dalam beramal.
Dalam hal ini, kita diingatkan oleh Rasulullah ﷺ bahwa amal yang paling dihargai oleh Allah bukanlah yang paling banyak, tetapi yang paling ikhlas dan benar. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
Dua syarat untuk amal yang baik adalah ikhlas (untuk Allah) dan benar (sesuai dengan petunjuk Nabi ﷺ). Amal yang ikhlas tetapi tidak benar, atau yang benar tetapi tidak ikhlas, keduanya tidak diterima di sisi Allah.
Penyakit yang Merusak Amal: Ijab
Imam Al-Mawardi menyebutkan bahwa salah satu penyakit yang dapat merusak amal adalah "Ijab" (membanggakan amal). Membanggakan amal bisa merusak keikhlasan, dan ini merupakan salah satu Afat (penyakit) yang harus dihindari. Dalam Kitab Adab al-Dunya wa al-Din, beliau menyatakan:
Apabila seseorang mulai membanggakan amalnya, maka hal tersebut akan membawa kepada dua hal yang tercela:
- Ihjuma' bialihi - Seseorang akan menjadi sangat terkesan dengan dirinya sendiri karena amal yang telah dia lakukan, dan ini akan merusak hati dan niatnya.
- Mumtinun bihi - Ini berarti seseorang akan mulai mengungkit-ungkit amal yang telah dia lakukan, yang pada gilirannya akan merusak amalnya sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis, kita dilarang untuk mengungkit amal kita kepada Allah.
Ngungkit Amal (Membanggakan Diri di Hadapan Allah)
Membanggakan amal yang telah dilakukan dalam rangka meraih perhatian atau pujian dari manusia, tentu akan merusak amal tersebut. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah:
Begitu juga dalam hal ibadah, apabila seseorang membanggakan amalnya kepada Allah dengan maksud untuk memperoleh pujian atau perhatian, maka itu termasuk dalam Ihjuma' bialihi yang tercela, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Mawardi.
Namun, mengungkit amal dalam konteks tawasul (memohon kepada Allah dengan amal kita) adalah hal yang berbeda. Mengungkit amal sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar amal kita diterima dan Allah memberikan rahmat-Nya adalah dibolehkan dan diajarkan dalam banyak hadis Nabi ﷺ.
Hadis Nabi ﷺ tentang Tawasul:
Menghindari Riya' dalam Amal
Pada akhirnya, menjaga agar amal kita tetap ikhlas dan terhindar dari riya' (pamer) adalah hal yang sangat penting. Riyaa' adalah salah satu dari penyakit hati yang dapat merusak amal baik kita. Salah satu cara untuk menjaga keikhlasan adalah dengan selalu mengingat bahwa segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk mencari ridha Allah semata. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak mengungkit amal kita kepada orang lain atau bahkan kepada Allah, kecuali dengan niat yang benar, yaitu untuk mendapatkan belas kasihan dan pertolongan dari-Nya.
Makna Zuhud dan Ketenangan Hati
Ibnu Abbas radhiallahu anhum mengatakan, "Adapun zuhud di dunia, itu adalah perasaan tenang, karena dengan zuhud kita akan merasa ringan hati, tidak terbebani oleh dunia, dan hidup dengan qana’ah (menerima dengan penuh rasa syukur). Orang yang zuhud akan merasakan ketenangan hidup, karena hatinya hanya berfokus pada Allah." Dengan sikap zuhud ini, kita akan mendapatkan ketenangan dunia dan akhirat. Orang yang zuhud tidak terikat dengan dunia, sehingga hatinya tetap tenang.
Allah berfirman dalam Surah Al-Ikhlas yang mengandung makna bahwa segala amal yang kita lakukan haruslah dengan niat yang ikhlas untuk Allah. Inilah inti dari kehidupan beribadah, yang dilakukan hanya untuk Allah, dan segala hasilnya pun kembali kepada Allah. Ketika kita hanya bergantung pada Allah, kita akan mendapatkan kemuliaan dan keutamaan. Allah berfirman, "Maka jika engkau tetap pada jalan yang benar, sesungguhnya itu adalah kemuliaan bagimu." (QS. Al-A’raf: 128)
Semua Amal Hanya untuk Allah
Setiap amal yang kita lakukan dengan ikhlas, baik itu ibadah atau pekerjaan lainnya, jika kita niatkan hanya untuk Allah, Allah akan memberikan balasan yang terbaik untuk kita. Sungguh, Allah tidak akan terpengaruh oleh amal kita, karena Dia Maha Kuasa. Allah tetap Allah, sedangkan kita, jika kita ingin meraih keberkahan, harus terus mengandalkan-Nya.
Bahaya Membanggakan Amal
Salah satu masalah yang dapat merusak amal kita adalah jika kita mulai merasa bangga dan membanggakan amal yang telah kita lakukan. Dalam hal ini, kita seharusnya tidak mengungkit-ungkit amal ibadah kita kepada orang lain, apalagi kepada Allah. Mengungkit-ungkit amal ini menunjukkan bahwa kita sedang menolak nikmat Allah dan merasa amal kita lebih tinggi daripada yang lain, padahal itu semua adalah anugerah dari Allah. Oleh karena itu, kita harus selalu rendah hati dan tidak merasa lebih baik daripada orang lain.
Ujub Merupakan Dosa Besar
Sebagai contoh, ketika seseorang membanggakan amal ibadahnya, maka dia berpotensi untuk menjadi orang yang merasa lebih besar daripada orang lain (ujub). Dalam hal ini, kita harus berhati-hati karena ujub atau rasa bangga dengan amal itu adalah dosa yang besar. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk selalu merendahkan hati dan tidak merasa lebih baik atas amal yang kita lakukan. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian merasa lebih baik dari sesama hamba Allah.” (HR. Muslim)
Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa lebih baik seseorang tidak melakukan ketaatan sama sekali daripada melakukan ketaatan namun dengan perasaan ujub (bangga dengan amalnya). Hal ini juga diingatkan oleh sebagian ulama Salaf yang berkata, "Orang yang tertawa sambil mengakui dosanya lebih baik daripada orang yang menangis sambil membanggakan amalnya." Dengan kata lain, jika seseorang menangis karena merasa berdosa dan menyesal, itu lebih baik daripada menangis karena merasa bangga dengan amal ibadahnya.
Pahala yang Berkurang Karena Ujub
Selain itu, kita juga harus ingat bahwa amal yang kita lakukan seharusnya tidak disertai dengan perasaan yakin bahwa amal kita sudah diterima atau bahwa kita sudah cukup. Jika kita merasa sudah cukup dengan amal yang kita lakukan, maka hal ini bisa menjadikan amal kita berkurang pahalanya. Seperti disebutkan dalam sebuah hadits, seseorang yang merasa yakin dengan amalnya dapat terjatuh dalam sikap sombong dan ujub. Allah berfirman: “Kamu tidak tahu amal mana yang diterima dan mana yang tidak.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Kita seharusnya terus merasa kurang dan terus berusaha lebih baik, meskipun kita sudah banyak melakukan amal saleh. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam Islam, yaitu tidak pernah merasa puas dengan amal kita. Oleh karena itu, kita harus terus berusaha melakukan amal ibadah dengan penuh ikhlas, tanpa merasa bahwa amal kita sudah cukup atau sudah sempurna.
Perasaan Yakin dengan Amal yang Dilakukan
Jika kita merasa yakin dengan amal yang sudah kita lakukan dan merasa cukup, ini dapat menyebabkan dua hal yang tercela. Pertama, sikap merasa cukup ini akan menumbuhkan rasa ujub dalam diri kita. Kedua, jika kita merasa sudah cukup, kita akan merasa tidak perlu melakukan amal yang lebih baik lagi, dan ini bisa merugikan kita di akhirat.
Dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk selalu merendahkan hati dan tidak merasa cukup dengan amal yang telah kita lakukan. Allah tidak mengukur amal kita dengan jumlah, tapi dengan ikhlas dan ketulusan hati kita dalam menjalankannya. Oleh karena itu, kita harus terus memperbaiki diri, tidak merasa bangga dengan amal kita, dan selalu berharap kepada Allah agar amal kita diterima.
Meremehkan Masa Depan dan Amal yang Sudah Lalu
Sikap meremehkan masa depan, merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan, dan tidak terus berusaha adalah bentuk kelalaian yang disebut dengan "watqala" (merasa cukup). Sebagai contoh, seseorang mungkin merasa bahwa dia sudah banyak beramal baik di masa lalu dan memiliki investasi amal yang banyak, lalu dia merasa tidak perlu lagi berbuat baik. Sikap ini sangat berbahaya karena kita tidak tahu apakah amal kita diterima oleh Allah atau tidak, dan karena itu kita tidak boleh meremehkan amal yang akan datang.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berusaha keras untuk beramal baik di dunia, maka Allah akan memberikan padanya pahala yang lebih besar dari amal yang dia lakukan.” (HR. Al-Bukhari). Oleh karena itu, tidak boleh merasa puas dengan amal yang sudah dilakukan dan harus terus berusaha meningkatkan amal baik tanpa menganggap bahwa amal yang sudah lewat cukup.
Bahaya Meremehkan Perintah Allah
Meremehkan perintah Allah juga merupakan akibat dari merasa aman dan cukup dengan amal yang telah lalu. Dalam hal ini, seseorang yang merasa sudah cukup dengan amalnya cenderung akan meremehkan larangan dan perintah Allah. Allah berfirman dalam Surat Al-A’raf: "Dan barang siapa yang tidak takut kepada Allah, maka perintah-perintah-Nya akan menjadi ringan di matanya." (QS. Al-A’raf: 179). Hal ini menunjukkan bahwa rasa aman atau tidak takut kepada Allah akan menumbuhkan sikap meremehkan kewajiban-kewajiban agama, baik itu shalat, zakat, atau kewajiban lainnya.
Ketika seseorang merasa aman dari Allah, maka ia cenderung tidak lagi mempedulikan larangan Allah dan tidak lagi merasa takut akan akibat dari dosa yang ia perbuat. Inilah yang menjadi bahaya besar bagi kita sebagai umat Islam, karena perasaan aman ini dapat membuat kita lengah dalam beribadah.
Kesadaran Akan Kelemahan Diri
Al-Fudail bin Iyad rahimahullah berkata: "Barang siapa yang takut kepada Allah, maka ia akan berhati-hati dengan amalnya. Ia akan selalu merasa khawatir jika amal yang ia lakukan tidak diterima oleh Allah. Dan ini adalah tanda dari makrifat (pemahaman) yang mendalam tentang Allah." Rasa takut ini akan membuat seseorang terus berusaha meningkatkan ibadahnya, tidak merasa puas, dan selalu merasa kekurangan dalam amalnya. Ketika seseorang tidak merasa puas, ia akan selalu berusaha berbuat lebih baik lagi dan terus menjaga kualitas amalnya.
Imam Al-Mawardi juga menyampaikan bahwa kita harus selalu merendahkan hati dan merasa kurang dengan amal yang telah kita lakukan, karena kita tidak tahu amal kita diterima atau tidak. Orang yang merasa cukup dengan amalnya berarti telah meremehkan kekuasaan Allah dan tidak lagi merasa takut akan keputusan-Nya.
Menjaga Amal dan Tidak Menganggap Enteng
Kita tidak boleh merasa bangga atau puas dengan amal yang telah lalu. Seperti yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa kita harus terus memperbaiki amal kita dan tidak menganggap enteng amal yang telah kita lakukan. Bahkan, seorang salafushalih pernah berkata: "Sebaik-baiknya amal adalah amal yang dilakukan dengan ikhlas dan tidak merasa cukup dengan amal yang telah dilakukan." Jadi, kita harus selalu berusaha melakukan amal ibadah dengan lebih baik dan tidak merasa bahwa amal kita sudah cukup.
Salah satu hal yang perlu kita renungkan adalah bahwa amal kita tidak akan pernah cukup untuk membayar segala nikmat yang Allah berikan kepada kita. Bahkan jika kita beribadah selama 500 tahun tanpa melakukan dosa, itu pun tidak cukup untuk membayar nikmat hidup yang Allah berikan kepada kita. Oleh karena itu, amal kita yang banyak sekalipun tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan rahmat Allah yang Maha Luas. Hanya dengan rahmat Allah-lah kita bisa masuk ke surga-Nya.
Terus Berusaha dan Tidak Merasa Aman
Imam Al-Ghazali berkata: "Janganlah kamu merasa puas dengan amal yang telah kamu lakukan karena setiap amal yang kamu lakukan belum tentu diterima. Kamu tidak tahu apakah amalmu diterima atau tidak. Maka, teruslah berusaha memperbaiki amal dan selalu bersandar pada rahmat Allah." Kita tidak boleh merasa aman atau puas dengan amal kita, karena hanya Allah yang tahu apakah amal kita diterima atau tidak.
Oleh karena itu, kita harus terus bekerja keras dalam beribadah dan beramal saleh. Seseorang yang memiliki kesempatan untuk beramal baik harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang Allah berikan kepada kita. Bahkan jika kita memiliki kesehatan, kita harus memanfaatkannya untuk beramal, karena kesehatan adalah nikmat besar yang harus dijaga dengan beribadah.
Jadi, pantang bagi laki-laki itu nganggur, pantang bagi laki-laki itu enggak serius. Kemudian, Qudama al-Jamhīrī mengatakan,
Wal-mālū (وَالْمَالُ) sedangkan harta,
Dan yang paling balīgh (بالغ), paling tegas dari semuanya itu adalah kata-kata Isa ibn Maryam (عِيسَىٰ ابْنُ مَرْيَمَ). Semoga Allah dan Nabi kita memberikan apa namanya salam kepada beliau.
beberapa pesan penting yang dapat kita renungkan. Ada dua poin besar yang bisa kita catat dan renungkan:
- Bahwa amal saleh itu bisa rusak dan bahkan mendatangkan dosa ketika kita melakukan amal dengan ujub (rasa bangga berlebihan), mengungkit-ungkit amal yang sudah kita lakukan terdahulu.
- Amal saleh ini bisa mengurangi pahala kita ketika kita terlalu yakin dengan amal yang lalu, merasa sudah cukup dengan amal tersebut, dan hanya mengandalkan amal yang sudah dilakukan tanpa berusaha untuk terus menambah amal saleh yang lain di masa depan.
Semoga kita dapat menjaga keikhlasan dalam setiap amal kita. Jangan sampai kita merasa puas dengan amal yang lalu, atau merasa cukup dengan apa yang telah dilakukan. Selalu tanamkan rasa takut amal kita tidak diterima oleh Allah. Karena dengan rasa takut ini, kita akan terus berusaha lebih baik lagi ke depannya.
Marilah kita tutup dengan doa bersama:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ اللَّهُمَّ اجعلنا من الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَإِخوانِنَا وَأَخَوَاتِنَا وَلِجَمِيعِ المُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ آمِينَ
Semoga Allah senantiasa memberikan ilmu dan taufik kepada kita, sehingga kita dapat istiqomah dalam ketaatan dan amal kita diterima oleh Allah. Amin.
Tidak ada komentar untuk "Afaat yang Merusak Amal Saleh: Menghindari Riya', Ujub, dan Niat yang Salah"
Posting Komentar