Hukum Membenci Simbol Islam: Bendera Tauhid dan Kedudukan Khilafah dalam Islam

Soal:

Bagaimana hukumnya membenci simbol-simbol Islam, khususnya Bendera Tauhid, yang merupakan bendera Islam? Samakah membenci bendera tersebut karena bodoh, tidak mau tahu, dengan orang yang tahu? Bagaimana hukumnya orang yang mengetahui kemungkaran tersebut dan mendiamkannya?

Jawab:

Harus dipahami, kebencian pada simbol Islam, khususnya Bendera Tauhid itu, adalah akibat dari penolakan terhadap hukum Khilafah. Padahal Khilafah telah disepakati oleh para sahabat, ulama dan umat dari generasi ke generasi. Khilafah disebut oleh Nabi saw. sebagai salah satu ikatan dalam Islam, yang diwajibkan oleh Nabi saw. untuk dipegang kuat-kuat, dan digigit dengan gigi geraham, agar tidak lepas. Nabi saw. bersabda:

لَتَنْقُضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً, فَكُلَّمَا اِنْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا, وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

“Tali-tali [ikatan] Islam benar-benar akan terlepas, satu-persatu. Ketika satu tali [ikatan]-nya lepas, orang pun pasti akan melepaskan tali [ikatan] berikutnya. Yang pertama kali lepas adalah pemerintahan. Yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad dkk. Disahihkan oleh al-Hakim)

Ini bukti bahwa masalah pemerintahan dalam Islam, yang tidak lain adalah Khilafah, merupakan masalah yang sangat penting. Masalah ini menentukan lepas dan tidaknya ikatan-ikatan berikutnya. Karena itulah Nabi saw. menitahkan agar Khilafah dipegang kuat-kuat dan digigit dengan gigi geraham:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ, وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Kalian wajib memegang teguh sunah [tuntunan]-ku, dan sunah [tuntunan] para Khalifah Rasyidah yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat tuntunan itu dengan gigi geraham. Kalian wajib berhati-hati terhadap perkara baru yang diada-adakan. Setiap perkara baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Setiap bid’ah itu sesat.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi, disahihkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi)

Khilafah adalah sistem pemerintahan yang diwariskan Nabi saw. kepada Khulafa’ Rasyidin. Pada zaman Nabi disebut Nubuwwah, setelah Nabi wafat disebut Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ, ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا, ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

“Ada era kenabian di tengah-tengah kalian, dengan kehendak Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah akan mencabut era itu jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Setelah itu ada era Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR Ahmad)

Artinya, Khilafah sebagai ajaran, hukum, dan sistem yang ada dalam khazanah dan sejarah Islam adalah keniscayaan. Tidak bisa diingkari, apalagi ditolak dan dimusuhi, hanya karena hari ini tidak ada. Mengingkari, menolak, dan memusuhi Khilafah sama artinya dengan mengingkari, menolak, dan memusuhi ajaran Islam yang jelas telah dinyatakan dalam Hadis Nabi saw., Ijmak Sahabat serta disepakati oleh ulama dan kaum Muslim sepanjang zaman.

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ, بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللَهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.”

Para ulama ushul menyatakan, menolak Ijmak Sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarakhshi (w. 483 H) menegaskan:

وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعِ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ … فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ

“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini… Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” (Imam as-Sarakhshi, Ushûl as-Sarkhasi, I/296)

Hal senada dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam Rawdhah ath-Thâlibîn. Demikian juga siapapun yang menolak simbol-simbol Islam, khususnya Bendera Tauhid, Lâ Ilâha illa-lLâh Muhammad RasûlulLâh, karena kebenciannya kepada Khilafah. Padahal bendera ini merupakan bendera Islam, bendera Rasulullah saw. Yang membenci Bendera Islam bisa dipastikan ada masalah dalam akidah dan keyakinannya.

Catatan kaki:

  1. Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7.
  2. Lihat, Ash-Sarakhsi, Ushûl as-Sarkhasi, I/296.
  3. An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, I/205.
  4. An-Nawawi, Rawdhah at-Thalibin, IV/265.
  5. Di sana ada rawi bernama Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad bin Muflih bin Hilal, yang tertuduh melakukan pemalsuan [muttaham bi al-wad’] dalam riwayat hadisnya.