Keadilan Umar bin Khattab: Kisah Sahabat yang Dipukul dan Tegaknya Hukum
Pada pagi hari ini kita akan membahas tentang bagaimana keadilan Umar radhiallahu Anhu. Dan pada hari ini kita akan bacakan kisah ee Ubadah bin Shamit, seorang sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.
Kisah Petani, Ubadah bin Shamit, dan Keadilan Umar
Kisah nabati ma Ubadah ibn Shamit wa Umar radhiallahu anhu. Jadi kisah eh seorang eh petani dengan Ubadah bin Shamit, seorang sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, dan keadilan Umar radhiallahu anhu.
Al-Baihaqi telah mengeluarkan riwayat dari Makhul, anak Ubadah ibn Shamit radhiallahu Anhu, bahwa Ubadah bin Shamit radhiallahu Anhu...
Ketika itu, jadi kalau kita lihat peristiwa ini, peristiwa ini terjadi di zaman Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu, di mana kita tahu ketika itu Amirul Mukminin bersama kaum muslimin melakukan penaklukan terhadap Al-Quds atau Baitul Maqdis.
Dalam kisah ini disebutkan bahwa Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu memanggil seorang nabati. Nabati di sini disebutkan sebagai Ahlu Bilad Al-Maftuhah Minal Fallah, jadi petani yang berasal dari wilayah atau negeri yang ditaklukkan, dalam hal ini adalah Al-Quds atau Palestina.
Jadi, ketika itu Ubadah bin Shamit memanggil ee orang tadi ya, ee minta supaya tunggangannya atau kendaraannya itu di ee pegangkan atau dibawakan. Tetapi celakanya, orang itu tidak mau menolak apa yang diminta oleh Ubadah bin Shamit. Maka apa yang dilakukan oleh Ubadah bin Shamit? Fadharabahu (Ubadah bin Shamit kemudian memukul orang itu).
Fadjahu, jadi ketika dia dipukul yang namanya pukulan mungkin karena emosi dan sebagainya tadi bisa membuat muka dia atau bagian kulit dia yang yangropeek.
Maka fasta'ada alaihi Umar Khattab radhiallahu anhu. Umar kemudian apa namanya ee memanggil atau meminta kepada-Nya untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan oleh Ubadah bin Shamit terhadap petani tadi.
Maka kemudian Umar berkata kepadanya, "Apa yang membuat kamu melakukan hal seperti ini?" kata Umar Bin Khattab radhiallahu kepada...
Maka kemudian Ubadah bin Shamit menjawab, "Ya Amirul Mukminin, aku perintahkan dia untuk memegangkan, untuk memegangi tungganganku, tapi dia tidak mau." Ya.
Waiyu, nah jadi Ubadah bin Shamit ini emosi, kemudian akhirnya ee mungkin dia minta tolong baik-baik, kemudian akhirnya si petani ini tidak mau memenuhi apa yang diminta. Lalu kemudian ee apa yang dilakukan oleh Ubadah bin Shamit dalam situasi seperti itu? Kemudian beliau spontanitas ya, namanya orang kadang-kadang dalam kondisi capek, kemudian akhirnya dipukullah orang itu oleh Ubadah. Karena seperti itu ceritanya, maka apa yang dilakukan oleh Umar? Umar kemudian mengatakan, "Faqala ijlis lilqisos" (duduklah kamu untuk diqisos).
Jadi seperti dalam kisah-kisah sebelumnya kita sudah bahas bagaimana keadilan Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu terhadap sahabatnya sendiri, terhadap sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Nah, ini kemudian faqala Zaid Bin Tsabit. Zaid Bin Tsabit juga seorang sahabat nabi, gurunya Abdullah Ibnu Abbas, dan salah seorang ee ketua dari panitia pengumpulan mushaf ya, pada saat mushaf itu dibukukan di zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu Anhu. Maka Zaid Bin Tsabit, seorang sahabat nabi yang berilmu, beliau kemudian menyatakan kepada Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu, "Atuqitu abdaka min akhika?" (Apakah kamu akan menjatuhkan kisos terhadap budakmu ya, terhadap apa namanya, terhadap saudaramu?). Karena budak ini pernyataan dari Zaid Bin Tsabit kepada Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu.
Maka apa yang dilakukan oleh Umar ketika itu? Fataraka Umar radhiallahu anhu alqisos wa aqoda alaihi ad-diya. Akhirnya Umar tidak memberlakukan qisos terhadap Ubadah bin Shamit karena tindakan yang dilakukan oleh eh Ubadah bin Shamit kepada orang yang menjadi petani tadi. Jadi yang dilakukan oleh Umar kemudian adalah minta diyat. Diyat ini adalah tebusan terkait dengan darah yang mengalir atau keluar dari ee tubuh kita. Jadi ketika seperti tadi kita sudah ceritakan bagaimana ketika orang itu mungkin ada kulitnya yang robek, mungkin ada hidungnya yang patah, seperti kita sudah jelaskan di dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya. Jadi kalau di dalam Islam ini harga tubuh kita ini luar biasa ya, harga tubuh kita ini luar biasa. Kalau hidung yang satu itu patah karena ditonjok, maka di situ ada 100 unta. Kalau telinga kita ada dua, satu mungkin hilang atau satu mungkin terluka karena ee tindakan yang dilakukan oleh seseorang, maka di sana juga ada diyat, ada tebusan darah yang harus kita bayar. Ini yang disebut dengan diyat. Jadi itu adalah merupakan hukuman yang diberikan oleh Umar untuk menggantikan qisos tadi, untuk menggantikan apa namanya ee qisos yang harusnya dijatuhkan oleh Amirul Mukminin kepada Ubadah bin Shamit.
Pelajaran Berharga dari Keadilan Umar
Para hadirin sekalian yang dimuliakan oleh Allah, kisah ini memberikan keteladanan kepada kita tentang bagaimana indahnya peradaban Islam. Di dalam kajian-kajian sebelumnya kita sudah sampaikan bagaimana Islam telah menunjukkan kepada kita tentang betapa adilnya hukum Islam ya, betapa adilnya hukum Islam.
Dalam pembahasan yang lalu kita juga sudah singgung bagaimana Umar Bin Khattab ketika itu memberlakukan sanksi kepada putranya sendiri ya, Abdurrahman, dan kemudian bagaimana Umar Bin Khattab memberlakukan sanksi kepada sahabatnya yang juga merupakan sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Artinya apa? Bahwa hukum di dalam Islam itu ditegakkan tanpa pandang bulu. Hukum di dalam Islam itu ditegakkan tanpa pandang bulu, meskipun kadang-kadang seperti dalam pembacaan yang lalu kita sudah singgung bagaimana Umar kadang-kadang memberikan win-win solution. Jadi di satu sisi haknya Allah itu ditegakkan, tapi di sisi selain haknya Adam atau haqqul adami itu juga ditegakkan, sehingga hisab di hadapan Allah kelak atas nama haknya Allah itu sudah digugurkan, dan yang kedua, hisab atas nama haknya anak Adam itu juga sudah digugurkan. Dengan kata lain, tidak ada lagi tuntutan di depan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Nah, ini penting, nalar seperti ini, ini penting ya. Nalar seperti ini ketika Islam itu memadukan antara al-maddah war ruh, yaitu materi dengan roh. Karena Islam itu tidak mengenal yang disebut dengan fashlul maddah bir ruh, memisahkan antara materi dengan roh. Perbuatan fisik kita itu materi, perbuatan fisik kita ini materi. Tetapi ketika perbuatan fisik kita itu tidak dihubungkan dengan roh, yaitu bahwa ini karena Allah, ini ada hubungannya dengan perintah dan larangan Allah, maka perbuatan kita itu hambar. Dan di situlah nanti nilai perbuatan kita di mata Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Nah, karena itu, ketika falsafah seperti ini, pemikiran seperti ini dimiliki oleh seorang pemimpin seperti Umar, dimiliki oleh pejabat seperti Ubadah bin Shamit, atau ee para sahabat yang disebutkan dalam kisah-kisah sebelumnya, maka keadilan akan tegak di muka bumi ini. Karena orang tidak lagi hanya melihat pada persoalan fisiknya, tetapi di balik itu ada perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang ditegakkan. Itu yang disebut dengan al-quwwah ar-ruhiyah, kekuatan roh yang ada di dalam diri kita ketika kita melakukan amal.
Nah, di sinilah Bapak dan Saudara sekalian yang dimuliakan Allah, bagaimana kita membangun kekuatan amal kita. Bayangkan kalau seandainya amal yang dilakukan oleh pejabat tadi itu semata-mata karena fisik, semata-mata karena apa yang tampak dan tidak ada aspek roh, yaitu kesadaran seperti misalnya "Inna rabbaka labil mirsad" (Tuhan kamu selalu mengawasi kamu), dan kemudian nanti di akhirat kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Orang di dunia bisa berkelit, orang di dunia bisa membikin alibi. Nanti berikutnya ada peristiwa bagaimana keadilan Umar ketika ada orang Yahudi yang dia sebenarnya berniat untuk, berniat untuk memperkosa seorang wanita muslimah, kemudian dia melapor duluan karena dia ingin membangun alibi supaya orang itu percaya bahwa dia tidak bersalah. Tapi Umar Bin Khattab radhiallahu, seorang khalifah yang adil, menyadari apapun yang dilakukan sebagai kebijakan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan hanya di dunia ini. Inilah pentingnya hidup bagi seorang mukmin. Jadi hidup kita ini bukan hanya di sini, tetapi juga di sana nanti. Apa yang kita lakukan hari ini adalah untuk bekal kita nanti menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka menjadi pemimpin yang adil ini luar biasa, menjadi pemimpin yang adil itu adalah luar biasa.
Oleh karena itu, inilah pelajaran yang berharga dari peristiwa tadi. Bagaimana keadilan Umar, bagaimana Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu menegakkan hukum itu hatta terhadap sahabat Nabi Sallallahu Alaihi Salam sendiri ya, orang yang, Ubadah bin Shamit ini kalau kita baca dalam riwayat yang lain adalah termasuk di antara orang yang memba'iat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dalam hadis yang masyhur disebutkan ya, "Bayakna Rasulullah 'ala as-sam'i wa at-tha'ati fi as-syari'ati wa fi an-nafsi fi as-syarri wa al-yusri", itu di antaranya adalah Ubadah. Jadi orang yang luar biasa, sahabat yang luar biasa ya, ini Ubadah bin Shamit. Tapi Umar tidak melihat itu karena ini menyangkut soal haknya Allah, menyangkut soal haqqul adami, haknya Allah dan pada saat yang sama ada haknya anak Adam yang harus ditegakkan. Sehingga dengan begitu maka ketika nanti ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, coba bayangkan ya, seperti yang tadi saya sudah sebutkan, di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu disebutkan "Yauma tublas sarair". Ayat ini sering saya kutip, "Yauma tublas sarair". Allah menggunakan kata sarair. Sarair itu adalah shighat muntahal jumu' (bentuk jamak yang paling tinggi). Kalau dalam bahasa Arab, shighat muntahal jumu' itu adalah jamak yang paling top, jamak yang paling puncak. Ada kata sirrun (satu rahasia), jamaknya sirrun itu asror (jamak taksir, lebih banyak daripada sir). Tapi di dalam ayat itu Allah tidak menggunakan kata "Yauma tubla asror", tapi "Yauma tublas sarair". Apa maknanya? Maknanya adalah nanti di hadapan Allah tidak ada satupun rahasia kita yang disembunyikan, tidak ada satupun rahasia kita yang tidak dibongkar oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak ada satupun...
Keadilan Umar bin Khattab: Mendengarkan Duduk Perkara Sebelum Menjatuhkan Hukuman
...tidak ada satupun rahasia kita yang catatannya luput dari hisabnya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini yang dimaksud yauma tublas sarair. Itu yang ditakutkan oleh Umar Bin Khattab radhiallahu anhu. Makanya Umar ketika menjelang wafatnya diminta supaya putranya ditunjuk untuk menggantikan Umar, Umar nggak mau ya, nggak seperti sekarang ya, belum selesai masa jabatannya anaknya, menantunya, besannya semua ya disurukkan kontestasi. Coba bayangkan ya, coba bayangkan ini ini realitas yang kita lihat ya, karena amalnya itu hanya amal fisik tadi, yang tana itu hanya amal fisik yang kelihatan itu enaknya saja, ya kan? Enaknya saja itu. Nah, ini kondisi yang kita lihat hari ini ya, Bapak dan sekalian yang dimuliakan Allah. Mari kita lanjutkan kisah berikutnya adalah kisah Auf bin Malik Al-Asyja'i bersama orang Yahudi dan keadilan Umar. Bagaimana Umar radhiallahu anhu menegakkan hukum, menegakkan sanksi ya.
Kisah Auf bin Malik, Orang Yahudi, dan Kebijaksanaan Umar
Wa akra Abu Ubaid wal Baihaqi, dan Abu Ubaid serta Imam Al-Baihaqi wa Ibnu Asyakir wa Ibnu Asakir, dan Ibnu Asakir telah meriwayatkan atau telah mengeluarkan hadis an Suwaid IBN Ghofalah radhiallahu Anhu qala (berkata):
"Lamma qadima Umar radhiallahu anhu As-Syama" (Ketika Umar tiba di Syam), "ahitab" (tiba-tiba ada seorang laki-laki dari ahli kitab). Ahli kitab di Syam ini karena Syam ketika itu tempatnya orang Yahudi juga, tempatnya orang Nasrani juga. Jadi kita tahu ketika Umar Bin Khattab radhiallahu anhu menaklukkan Baitul Maqdis atau Al-Quds, ketika itu justru yang meminta dalam penjelasan yang lalu-lalu kita sudah singgung, yang meminta agar orang Yahudi itu dikeluarkan dari Baitul Maqdis itu orang Kristen karena mereka sudah bikin banyak masalah, bikin banyak masalah dan itu kemudian dilakukan oleh Umar ketika itu berdasarkan suluh atau kesepakatan perjanjian damai yang diminta oleh orang Kristen kepada Amirul Mukminin ketika itu. Dalam riwayat yang lain kemudian orang Yahudi itu akhirnya dikembalikan, dinormalisasi ee itu pada zamannya Salahuddin Al-Ayyubi ketika Salahuddin Al-Ayyubi menaklukkan ee Al-Quds setelah peristiwa Perang Salib ketika itu.
Nah, dalam riwayat ini disebutkan ahli kitab itu, seorang laki-laki dari ahli kitab itu dia datang kepada Umar Bin Khattab radhiallahu anhu qala (kemudian orang itu mengatakan), "Ya Amirul Mukminin" (katanya), "wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya seorang laki-laki dari kalangan orang muk..." dia telah melakukan sesuatu terhadapku sebagaimana yang Anda bisa lihat ini dia, dia lapor duluan ceritanya, ya kan? Jadi lapor duluan ceritanya karena dia mungkin apa namanya ada bekas ya, bekas luka yang dialami kemudian dia lapor itu kepada Amirul Mukminin. Nah, Amirul Mukminin ya ketika itu tidak di TKP, posisinya itu tidak di tempat kejadian perkara. Dipikir orang ini bisa saja dia melapor kemudian Amirul Mukminin bisa percaya begitu saja. Tetapi Umar Bin Khattab sekali lagi adalah seorang khalifah yang jenius, seorang khalifah yang cerdas, bukan hanya cerdas dan jenius tapi Umar Bin Khattab ini sekali lagi mengajarkan kepada kita bagaimana menegakkan keadilan itu ya, hatta terhadap sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam seperti dalam peristiwa Ubadah bin Shamit tadi.
"Faqala" (maka kemudian berkata), ya ketika itu disebutkan di sini, "wa..." Jadi tadi itu apa namanya dia kalau dalam riwayat ini disebutkan dia habis dipukul kemudian ada yang robek ya, mungkin bagian mukanya atau kulitnya yang lain karena pukulan tadi.
Itu apa yang terjadi pada Umar ketika dapat laporan seperti itu? Umar marah besar ya, Umar marah besar dengan peristiwa tadi. Jadi ketika mendapatkan laporan itu, tapi ini kan ceritanya baru sepihak ya kan? Ini ceritanya baru sepihak, artinya baru dari pihak orang tadi ya, baru dari pihak korban itu. Jadi baru dari pihak-pihak korban.
Umar radhiallahu anhu kemudian dalam kondisi seperti itu Umar memanggil... Umar berkata:
"Kamu berangkat ya, kemudian kamu cari atau kamu periksa siapa yang ketika itu bersamanya, bawa dia ke sini. Siapa yang apa namanya buat orang ini terluka, bawa dia ke sini ya." Kemudian apa yang dilakukan oleh...
Maka kemudian berangkat mencari orang yang diisyaratkan oleh Umar yang telah melukai orang ini. Ibnu Malik Al-Asyja'i radhiallahu... ternyata orang yang dimaksud oleh orang Yahudi tadi itu adalah seorang sahabat nabi yang bernama Auf bin Malik Al-Asyja'i radhiallahu anhu.
Kemudian berkata...
Nasihat Suhaib Ar-Rumi dan Muadz bin Jabal
Eh, Suhaib berkata kepada Auf bin Malik Al-Asyja'i. Kata Suhaib, ya Suhaib Ar-Rumi ini adalah seorang sahabat nabi yang dia datang ke Makkah (disebut Ar-Rumi itu konon karena rambutnya pirang, ada mengatakan nisbat Ar-Rumi karena memang dia dinisbatkan kepada Rom bangsa Rom atau memang dia asalnya dari sana). Memang dia datang ke Makkah, dia masuk Islam di Makkah, dia berdagang di Makkah dan dia kaya ya. Tapi pada saat hijrah, Suhaib Ar-Rumi ini meninggalkan semua hartanya. Makanya ketika dia tinggalkan semua hartanya di Makkah, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam menyatakan, "Qad aflaha Suhaib, qad aflaha Suhaib, qad aflaha Suhaib" (Sungguh beruntunglah Suhaib, sungguh beruntunglah Suhaib, sungguh beruntunglah Suhaib). Suhaib telah menang besar karena meninggalkan hartanya di Makkah dan dia tinggalkan semuanya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Ini Suhaib Ar-Rumi ya, Suhaib Ar-Rumi.
Nah, jadi dalam peristiwa itu Suhaib kemudian mengatakan kepada Auf bin Malik Al-Asyja'i. Kata Ar-Rumi, "Inna Amirul Mukminin ghadhiba 'alaika ghadaban syadida" (Sesungguhnya Amirul Mukminin marah besar kepadamu), kata Suhaib kepada Auf bin Malik. "Fati Mu'adz Ibn Jabal fayukallimhu" (Coba kamu datangi Mu'adz Bin Jabal, sampaikanlah kepada Mu'adz), "fa inni akhsya an yu'ajjila 'alaika Umar" (karena aku khawatir Umar akan segera menjatuhkan sanksi kepadamu karena marah tadi). Padahal kita tahu ya, Umar dalam riwayat yang yang lalu kita sudah sebut, ketika Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu mendengarkan ada peristiwa menyangkut pejabatnya atau menyangkut sahabat nabi dalam kondisi marah seperti tadi, biasanya Umar masuk rumah dulu, menenangkan pikirannya, menenangkan hatinya, baru kemudian keluar menemui dalam keadaan sudah reda marahnya. Itu kebiasaan Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu.
Tapi Suhaib Ar-Rumi khawatir kalau-kalau Umar masih diselimuti kemarahannya. Maka kemudian Suhaib Ar-Rumi menyarankan Auf bin Malik untuk mendatangi Mu'adz Bin Jabal. Dan Mu'adz Bin Jabal ini juga merupakan sahabat nabi yang juga seorang mujtahid ya, seorang qadi bahkan di zaman Nabi sudah ditunjuk untuk menjadi qadi di Yaman ketika itu. Ini Mu'adz Bin Jabal ya kan. Jadi Subhanallah, sahabat ini lalu kemudian apa yang terjadi?
"Fa lamma qadha Umar as-shalah qala Umar, 'Aina Suhaib?'" (Ketika Umar selesai menunaikan salat, Umar bertanya, 'Mana Suhaib?'). Dicari-cari Suhaib karena Suhaib yang disuruh mencari siapa orang yang apa namanya memukul orang ahli kitab tadi sampai ee kulitnya robek itu. "Aji'ta bir rajul alladzi jarahu?" (Apakah kamu sudah membawa orang yang saya maksudkan, yang telah melukai orang Yahudi itu atau ahli kitab itu?). "Qala na'am" (Kemudian Suhaib menjawab, 'Iya').
"Wa qana Mu'adzun 'indahu" (Ketika itu Auf bin Malik Al-Asyja'i mendatangi Mu'adz), "fadzakara lahu ma kana minhu" (dia menceritakan kisah atau kejadian yang menimpa dirinya). Menimpa artinya yang dialami sampai kenapa kemudian Auf bin Malik ya itu melakukan tindakan itu. Jadi intinya kan tadi Suhaib itu bilang kamu temui dulu Mu'adz Bin Jabal supaya Mu'adz Bin Jabal yang ngomong kepada Umar Bin Khattab, jangan kamu langsung. Jadi supaya nanti Umar yang lagi marah yang meledak seperti itu nggak segera menjatuhkan sanksinya kepada kamu. Takutnya nanti Umar ya dalam kondisi seperti dan kita tahu sebagaimana dalam hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam itu disebutkan, "La yaqdhil qadhi bainas tsnaini wa huwa ghadhban" (Seorang qadi tidak boleh memutuskan perkara antara dua orang dalam keadaan marah, tidak boleh ya). Nah, dan itu memang betul dihindari oleh Umar seperti dalam riwayat sebelumnya ya. Maka Umar menunggu reda biasanya baru kemudian Umar membuat keputusan, tapi Umar juga ingin segera masalah ini dituntaskan ya.
Lalu kemudian apa yang terjadi? Auf bin Malik Al-Asyja'i mendatangi Mu'adz dan dia menceritakan kisahnya kepada Mu'adz Bin Jabal. Mu'adz kemudian berdiri, artinya Mu'adz yang kemudian menghadap Amirul Mukminin, bukan Auf bin Malik Al-Asyja'i langsung yang ngomong, Mu'adz dulu yang ngomong sebagaimana pesan Suhaib Ar-Rumi tadi ya. Ini jadi dari sini ini kita juga melihat ya bagaimana sahabat antar sahabat itu luar biasa hubungannya, mereka saling menjaga, mereka saling melindungi. Subhanallah ya. Jadi bukan saling menjatuhkan, saling melindungi, saling menjaga ya kan? Jadi kalau ada sahabatnya yang dalam tanda petik dalam bahaya, dalam kondisi musibah bukan malah dijerumuskan, tidak. Ini hubungan sahabat nabi radhiallahu anhum yang luar biasa.
Keadilan Umar bin Khattab: Mendengarkan Duduk Perkara Sebelum Menjatuhkan Hukuman (Bagian 2)
...keterbatasan, ada juga yang mungkin dia nggak berani melakukan itu, akhirnya ada yang mungkin anak yang nggak bisa beli pulsa, jualan ini itu dan sebagainya. Ini motivasi dalam melakukan amal tadi, meskipun tentu dalam hal ini harusnya negara yang menyediakan fasilitas itu, bukan kemudian justru dananya dipakai untuk yang lain-lain ya. Katanya anggarannya sampai Rp900 triliun ya kan? Makanya kemarin Rizal Ramli bilang, kenapa kok anggaran sebanyak itu tidak digunakan saja untuk menggratiskan pulsa para pelajar misalnya, supaya mereka bisa mengikuti pelajaran daring tanpa membayar pulsa ya kan? Kemudian kalau tidak punya handphone, kenapa mereka tidak disubsidi misalnya gitu kan? Ini kan fasilitas atau kalau misalnya tidak ada handphone, mungkinlah dibuatkan sentra-sentra tempat pembelajaran di situ, manfaatkan mungkin TV LED atau apa yang apa namanya Smart TV yang bisa langsung kan bisa, wong sekarang itu ada teknologi begitu misalnya. Tapi kan ini nggak, yang mikir akhirnya apa? Beban itu dipikul oleh masing-masing kan? Nah, ketika beban itu dipikul oleh masing-masing, di satu sisi orang tua tadi itu punya kewajiban bagaimana supaya anaknya bisa mengikuti pelajaran, akhirnya muncullah yang tadi itu, mungkin karena dia tidak mau mengeluh ke sana ke sini atau mungkin karena hutang tidak ada yang percaya dan sebagainya kan? Ini situasi-situasi yang terjadi. Itu namanya motivasi ketika melakukan tindakan. Nah, kalau hukum itu ditegakkan tanpa melihat latar belakang ini kan jadi masalah ya kan? Ini jadi masalah. Makanya coba perhatikan dalam hadis Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, orang ketika mencuri dalam keadaan kelaparan itu tidak boleh dipotong tangannya, "La yuqtho'us sariqu fil majma'ah" kata Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam (Tidak dipotong tangan pencuri karena kelaparan). Iya kan? Apa? Ini motivasi, latar belakang. Wong dia mencuri untuk bertahan hidup kok. Nah, karena itu dalam penegakan hukum selain melihat ujung itu juga harus melihat apa yang menjadikan ujungnya tadi terjadi supaya adil hukum itu ditegakkan. Nah, ini nasihat Mu'adz Bin Jabal kepada Umar Bin Khattab supaya Umar Bin Khattab itu tidak hanya memvonis ujungnya saja yaitu tindakan memukul yang dilakukan oleh Auf bin Malik tadi tanpa melihat belakangnya Auf bin Malik Al-Asyja'i melakukan itu.
Kebenaran Terungkap: Hukuman bagi Pelaku Kejahatan Sesungguhnya
Apa yang kemudian terjadi? Auf bin Malik "faqala lahu Umar" (maka kemudian Umar bertanya kepada Auf bin Malik Al-Asyja'i), "ma laka wa li hadza?" (katanya, 'Apa yang membuat kamu melakukan ini? Apa membuat kamu sampai kamu melakukan tindakan ini kepada orang ini?'). Ini pertanyaan Umar kepada Auf bin Malik Al-Asyja'i. Lalu kemudian "qaala Auf bin Malik Al-Asyja'i, ya Amirul Mukminin..." (berkata Auf bin Malik Al-Asyja'i, 'Wahai Amirul Mukminin...'). Nah, ini motivasinya kenapa Auf bin Malik Al-Asyja'i memukul orang itu, ini latar belakangnya. Ini penting akhirnya Umar Bin Khattab menggali ceritanya yang sebenarnya itu apa. "Qaala ya Amirul Mukminin, innahu..." (Berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya...'). Karena ini ini ceritanya Auf bin Malik Al-Asyja'i, "ra'aitu hadza yastauqu imra'atan muslimatan 'ala himarin" (Aku melihat orang ini... seorang muslimah naik di atas keledai kemudian dia tuntun).
Ya, jadi bisa juga maknanya apa namanya perempuan itu keledainya di depan dengan dia naiki lalu kemudian orang Yahudi itu di belakang ya. Atau bisa juga tadi itu maknanya di dituntun tadi. Nah, dalam kisah ini kemudian disebutkan orang Yahudi ini cari gara-gara sebenarnya karena nanti motivasinya dia ingin perempuan itu jatuh kemudian dia pura-pura ya intinya memperkosa perempuan itu yang terjadi dalam riwayat ini. Jadi kan dia cari ini karena orang pikirannya sudah ngeres ya kan? Pikirannya sudah nggak baik. Bagaimana caranya supaya khimarnya tadi itu di istilahnya itu bikin gara-gara sama orang itu supaya kemudian khimarnya itu pula lalu kemudian perempuan itu jatuh, itu target dia. Nah, ini ini ini sebenarnya yang dia lakukan. Tetapi celakanya, famnya, khimarnya itu tidak istilahnya pokoknya dia tidak bergeming dan dia tidak berulah sehingga perempuan itu anteng di atas punggung khimar tadi. Karena seperti itu apa yang terjadi? "Fadafa'aha" (Orang itu kemudian mendorong atau mungkin dia pukul apa namanya belakangnya itu atau mungkin diapainlah gitu sehingga akhirnya khimar tadi itu berulah lalu kemudian perempuan itu akhirnya dia terjatuh dan kemudian akhirnya kalau di sini disebutkan "fagasya" itu dalam penjelasannya Al-Kandalawi disebutkan. Jadi orang ahli kitab tadi itu begitu tahu perempuan tadi itu jatuh dia ingin menunggangi perempuan itu. Nah, perempuan ini yang dicari gara-gara ini adalah perempuan muslimah dan orang Yahudi ini punya niat jahat kepada perempuan-perempuan itu. "Fa aqabba 'alaiha".
"Faqala lahu Umar" (Kemudian Umar berkata kepada Auf), "itini bil imra'ah" (Coba kamu bawa perempuan itu, benar nggak seperti itu?). Jangan-jangan ini hanya ini loh, adilnya Umar Bin Khattab radhiallahu anhu. Jadi Umar tidak hanya menerima penjelasan dari Auf bin Malik, padahal ini sahabat nabi ya kan? Dalam situasi seperti itu kan bisa jadi dia berbohong, itu pikiran Umar. Umar kemudian tidak mau menerima begitu saja. Lalu kemudian kata Umar, coba kamu bawa perempuan itu. Pendek kata karena ini masih agak lumayan, saya tidak akan bacakan semua. Pendek kata kemudian akhirnya apa? Perempuan itu dibawa menghadap di hadapan Umar Bin Khattab radhiallahu Anhu. Lalu kemudian perempuan itu ditanya, benar nggak yang disampaikan oleh Auf bin Malik Al-Asyja'i tadi? Intinya perempuan itu mengatakan, "Na'am ya Amirul Mukminin, na'am ya Amirul Mukminin, ma qala Auf bin Malik Al-Asyja'i haqqun" (Betul wahai Amirul Mukminin, betul wahai Amirul Mukminin, apa yang dikatakan oleh Auf bin Malik Al-Asyja'i tadi itu benar). Jadi kesimpulannya apa? Akhirnya Umar tidak jadi menghukum Auf bin Malik Al-Asyja'i gara-gara Auf bin Malik Al-Asyja'i melukai orang Yahudi tadi, justru sebaliknya orang Yahudi itulah yang diperintahkan Umar untuk disalib karena dia mau memperkosa perempuan. Nah, ini ceritanya jadi kan berbalik kan akhirnya hukumannya itu hukumannya berbalik yang asalnya orang itu melaporkan Auf bin Malik Al-Asyja'i supaya Auf bin Malik Al-Asyja'i ini dijatuhi hukuman qisos karena dia sudah membuat eh tubuhnya terluka tadi itu, tapi kemudian akhirnya Umar berhasil membongkar apa yang sebenarnya terjadi dan kemudian setelah saksi-saksi dikumpulkan peristiwanya berhasil direkonstruksi dan kemudian akhirnya keputusan Umar menjatuhkan justru ya hak kepada orang Yahudi tadi. Diriwayatkan di sini, "Wa..." ya dalam riwayat disebutkan Umar kemudian berdiri di atas mimbar lalu Umar mengatakan, "Ayyuhan nas ittaqullah fi dzimmah Nabiyyikum Muhammadin Sallallahu Alaihi Wasallam" (Wahai manusia takutlah kalian kepada Allah dalam (menjaga) perlindungan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam). Siapa saja di antara kalian yang melukai ini kalau dia mencederai dzimmah, artinya begini, ahli kitab itu kalau dia hidup di dalam perlindungan Islam dia dijaga agamanya, dijaga darahnya, dijaga hartanya, dijaga. Tetapi kalau dia sampai melanggar itu, misalnya tadi sampai dia melanggar seperti tadi mau memperkosa atau sebagainya tadi maka dzimmah dia bisa dicabut, berarti apa? Dia kehilangan itu. Nah, ini makanya jadi orang nonmuslim kalau hidup di dalam wilayah Islam itu mereka sama dengan orang Islam dari segi apa? Agama mereka dijaga, darah mereka dijaga, harta mereka dijaga, kehormatan mereka dijaga. Itu yang disebutkan ya, "hatta yu'thul jizyata 'an yadin wa hum shaghirun" (sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk). Jizyah itu adalah bukti ketundukan mereka sesuai dengan kemampuan mereka dan mereka menunjukkan ketaatan mereka kepada sistem Islam, hukum Islam ini diberlakukan. Dan dalam situasi seperti itu kalau mereka yang sudah mendapatkan perlindungan tadi kemudian mencederai dzimmahnya Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam tadi itu, "fa lahum..." maka Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dalam satu hadis juga menyatakan ya, "Man adza dzimmiyan faqad adzani" (Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka ia telah menyakitiku). Eh, jadi ada satu riwayat yang di situ disebutkan, "eh man adza dzimmiyan faqad adzani" (eh barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka ia telah menyakitiku). Ini jadi kalau ada orang yang menyakiti atau ada orang yang menyiksa atau menganiaya ahli dzimmah ya, "faqad adzani" berarti dia sama saja dengan menganiaya atau menyiksa aku kata Rasulullah atau menyakiti aku kata Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Dan ini yang disampaikan oleh... Jadi hati-hatilah kalian, bertakwalah kalian, takutlah kalian kepada Allah dengan dzimmahnya Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Maka siapa saja yang melakukan itu, maka... Nah, orang Yahudi tadi kemudian akhirnya dia ya, "qaatil Yahudi wa huwa awwalu man suliba fil Islam" (Orang Yahudi itu dibunuh dan dia adalah orang yang pertama kali disalib di dalam Islam itu) gara-gara peristiwa tadi itu. Itu cerita Suwaid ya yang disampaikan pada kita dalam kitab Hayatus Sahabah ini. "Kada fil kanzi" (Begitulah dalam Kanzul Ummal disebutkan). "Wa akhrajahu ath-Thabrani 'an Auf bin Malik radhiallahu anhu mukhtasaran" (Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dari Auf bin Malik radhiallahu anhu secara ringkas). "Qaala al-Haitsami wa rijaluhu rijalus shahih" (Berkata Al-Haitsami dan perawinya adalah perawi kitab Shahih). Al-Haitsami ini adalah muridnya Al-Iraqi Al-Hafidz Al-Iraqi dan beliau punya kitab namanya Majma'uz Zawaid wa Manba'ul Fawaid dan kitab ini luar biasa karena kitab ini diteliti oleh tiga Hafidz ya, Al-Iraqi gurunya, kemudian Al-Hafidz Al-Haitsami dan juga muridnya dan sekaligus temannya yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Saya kira itu Bapak dan Saudara sekalian yang dimuliakan Allah, kajian kita pada pagi hari ini. Semoga kita bisa mengambil banyak pelajaran dari peristiwa tadi, dari kisah-kisah yang luar biasa. Semoga dengan kisah ini membangun kesadaran kita betapa luar biasanya peradaban Islam dan kita bisa meladani bagaimana kisah Umar untuk menjadi pedoman hidup kita. Jadi intinya apa yang dilakukan oleh Umar tadi itu ada dua hal yang ingin saya tekankan. Umar ingin menegakkan apa menjadi haknya Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pada saat yang sama hak adami tadi. Dan itu karena kesadaran dua aspek yang terkait dengan maddah dan ruh tadi itu yang melekat dalam diri Umar Bin Khattab radhiallahu anhu. Dan inilah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hidup bukan hanya di sini tetapi hidup ini untuk di sana di akhirat dan di sana nanti tidak ada siapa yang bisa membela kita, melindungi kita ya. Jadi orang-orang yang dulu kita zalimi di dunia mereka kelak akan menuntut di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini yang ditakutkan oleh Umar Bin Khattab karena ada pengadilan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Saya kira itu sudah masuk waktu syuruk ya. Eh, ada yang ingin disampaikan? Kalau tidak ada kita tutup majelis kita sampai di sini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ilmu kita menjadi ilmu yang bermanfaat, menjadikan pedoman kita dalam hidup kita dan menjadikan amal kita bisa diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.