Perilaku Khalifah Bukan Sumber Hukum

Soal:

Bagaimana cara membedakan antara sistem Khilafah dan perilaku oknum dalam sistem Khilafah? Apakah perilaku oknum Khalifah bisa dijadikan sebagai patokan untuk menilai sistem Khilafah? Di manakah posisi sejarah Khilafah dan Khalifah yang ditulis para ulama? Apakah bisa sejarah ini dijadikan sebagai referensi untuk menghukumi sistem Khilafah?

Jawab:

Pertama: Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam kitabnya, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, menjelaskan, bahwa Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan negara tuhan (dawlah ilahiyyah). Yang menjadi Khalifah adalah manusia biasa, bukan manusia yang ma’shûm (terjaga dari dosa), apalagi malaikat.1 Inilah konsep yang selama ini dianut oleh Ahlussunnah wa al-Jamaah. Berbeda dengan Syiah. Syiah menganggap Imam (Khalifah) wajib ma’shûm. Padahal mengklaim Imam (Khalifah) itu ma’shûm sama dengan mengklaim Imam (Khalifah) itu seperti nabi dan rasul. Ini karena sifat ma’shûm itu merupakan konsekuensi dari nubuwwah dan risâlah, yang melekat pada nabi dan rasul. Karena itu konsep ini jelas batil, bahkan bertentangan dengan akidah.

Kedua: Konsekuensi dari fakta bahwa seorang Khalifah dan negaranya, Khilafah, adalah manusia biasa, bukan manusia yang ma’shûm, maka Khalifah, sebagai oknum, bisa salah.

Karena itu di dalam sistem Khilafah ada mekanisme kontrol (Muhâsabah), dan check and balance, baik yang dilakukan dari dalam maupun luar kekuasaan. Ada Majelis Umat, yang melakukan fungsi Muhâsabah. Ada Mahkamah Mazhalim yang berfungsi menghilangkan kezaliman oknum penguasa, mulai dari Khalifah sampai pejabat negara terendah. Bahkan ketika Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim tidak melaksanakan fungsinya, Khilafah membuka ruang kepada partai politik hingga ulama dan umat untuk melakukan fungsi muhâsabah, check and balance, bahkan sampai munâbadzah bi as-sayf (mengangkat senjata) untuk menghilangkan kezaliman yang ada. Semuanya itu merupakan jaminan untuk memastikan tegaknya sistem Islam dengan benar, murni dan konsekuen di tengah-tengah masyarakat, serta tegaknya keadilan dan hilangnya kezaliman.

Ini tentu berbeda dengan sistem Monarchi Absolut, yang menyatakan, bahwa The King can’t do no wrong (Raja tidak mungkin melakukan kesalahan). Raja mesti benar.

Ketiga: Karena itu untuk menilai sistem Khilafah tidak bisa merujuk pada sejarah, tetapi harus dilihat dari produk hukum yang diterapkan di era Khilafah. Karena itu untuk menilai sistem ini bisa dilihat dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para ulama pada zaman itu. Inilah satu-satunya dokumen politik yang otentik untuk menjelaskan sistem Khilafah. Memang di dalam kajian fikih itu ada banyak perbedaan, tetapi semuanya mencerminkan kekayaan khazanah intelektual di era itu.

Sebagai contoh, menilai Khilafah ‘Abbasiyah tidak bisa dilihat dari berbagai catatan sejarah pada zamannya. Apalagi dengan membaca sejarah terjadinya berbagai fitnah dan musibah pada zamannya. Ini sebagaimana diceritakan oleh Imam as-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’, mulai dari Fitnah 100 tahun kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan.3 Menilai system Khilafah harus dilihat dari kitab fikih pada zaman itu, misalnya, Al-Ahkâm as-Suthâniyyah, baik karya al-Mawardi (w. 450 H) maupun al-Farra’ (w. 458 H); atau kitab Ar-Raudhah maupun Al-Majmû’, karya Imam an-Nawawi (w. 676 H).

Begitu juga menilai Khilafah ‘Ustmaniyyah harus merujuk pada kitab fikih yang ditulis pada zamannya, seperti Multaqa al-Abhur, karya Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim al-Halabi (w. 956 H), dan Syarh-nya, Majma’ al-Anhur, karya al-Faqih ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman al-Kalibuli, yang terkenal dengan nama Syaikhi Zadah, atau Damad Afandi (w. 1078 H). Bukan merujuk pada kitab sejarah. Apalagi sejarah yang ditulis kaum Kafir Orientalis.

Sebagai contoh, Khilafah adalah Negara Islam yang berbentuk negara kesatuan, bukan federasi, bukan comenwealth, bukan monarki, bukan teokrasi, bukan demokrasi, bukan autokrasi, bukan otoriter dan diktator. Khilafah adalah Negara Islam karena akidah Islam menjadi dasarnya. Seluruh hukum yang diterapkan sepanjang sejarah Islam pun adalah hukum Islam. Bukan hukum yang lain. Bentuk Negara Islam adalah negara kesatuan merupakan pendapat Jumhur ulama’. Dalam kitab ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menuturkan:

اَلْمَسْأَلَة الثَّانِيَة : لاَ يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَإِنْ تَبَاعَدَ إِقْلِيْمَاهُمَا، وَقَالَ الأُسْتَاذُ أَبُوْ اِسْحَقْ : يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي إِقْلِيْمَيْنِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَهَذَا إِخْتِيَارُ الْإِمَامُ، وَالصَّحِيْحُ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْجْمْهُوْرُ هُوَ الأَوَّلُ . فَإِنْ عُقِدَتْ اَلْبَيْعَةُ لِرَجُلَيْنِ مَعًا فَالْبَيْعَتَانِ بَاطِلَتَانِ

Masalah kedua: Tidak boleh mengangkat dua Imam (Khalifah) dalam waktu yang sama sekalipun wilayah keduanya berjauhan. Ustadz Abu Ishaq4 menyatakan, boleh mengangkat dua Imam (Khalifah) pada dua wilayah karena boleh jadi itu memang dibutuhkan. Ini merupakan pilihan Imam (al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini).5 Yang benar adalah apa yang disepakati Jumhur, yaitu pendapat yang pertama. Jika baiat diberikan kepada dua orang secara bersamaan maka kedua baiat itu batal.”6

Kesimpulan

Konsekuensi tidak boleh ada dua Imam (Khalifah) dalam wilayah Khilafah, meski berjauhan, adalah kesatuan Khilafah. Wilayahnya satu. Hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam. Siapapun yang melakukan kesalahan bisa divonis di wilayah manapun dengan hukum Islam, yang mengikat di seluruh wilayah.

Demikian juga dengan sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan Khilafah berbeda dengan sistem monarki, parlementer, termasuk demokrasi, teokrasi, atau autokrasi, otoriter dan sebagainya. Sistem Khilafah itu khas. Apa buktinya? Buktinya tampak pada metode pengangkatannya, yaitu baiat. Dalam praktiknya, pelaksanaan baiat ini memang bisa menggunakan berbagai cara. Ada yang dilakukan dengan musyawarah, sebagaimana pembaiatan Abu Bakar as-Shiddiq di Saqifah Bani Sa’idah. Ada yang menggunakan wasiat atau rekomendasi, yang kemudian dikenal dengan Wilâyah al-‘Ahd (putra mahkota), yang baru dinyatakan sah sebagai Khalifah setelah dibaiat. Ada yang menggunakan kekuatan militer, sebagaimana dalam kasus pengangkatan Mu’awiyah, yang kemudian dinyatakan sah, setelah Sayidina al-Hasan menyerahkan baiat kepada Muawiyah, dan kaum Muslim pun menerimanya.

Jadi, intinya baiat. Karena itu, baiat ini dinyatakan oleh Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum sebagai proses yang sah dan mengikat dalam sistem Khilafah. Hal ini sejalan dengan perkataan al-Mawardi dalam al-Ahkâm as-Sultâniyyah. Baiat ini adalah bagian dari rukun dalam syarat berdirinya Khilafah, sebagaimana yang telah diterangkan oleh al-Mawardi.

    1. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, Juz II/103-121; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wa al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2002 M, hal. 116-123;
    2. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, Juz II/103-121.
    3. Al-‘Allamah al-Hâfidz al-Imam as-Suyûthi, Târîkh al-Khulafâ’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1408 H/1988 M, hal. 422;
    4. Dalam kitab Fiqih Syafii, istilah al-Ustadz Abu Ishaq digunakan untuk menyebut Ruknu ad-Dîn Ibrâhîm bin Muhammad bin Ibrâhîm bin Mahran al-Isfirâyîni, wafat tahun 418 H. Jika digunakan istilah, Abû Ishaq saja, maksudnya adalah as-Syaikh Ibrâhîm bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi, wafat tahun 340 H. Lihat, al-Ustâdz as-Assyid Shâlih bin Ahmad bin Sâlim al-‘Idrûs, as-Syâfiyah fî Bayâni Isthilahâti al-Fuqahâ’ as-Syâfi’iyyah, Juz I-II, Mathba’ah al-Hajûn, Malang, Indonesia, cet. VI, 1429 H/2008 M, hal. 4 dan 6.
    5. Istilah al-Imam, dalam kitab Fiqih Syafii, digunakan untuk menyebut Imâm al-Haramain Dhiyâ’ ad-Dîn Abû al-Ma’âli ‘Abdu al-Malik bin ‘Abdillâh bin Yûsuf al-Juwaini, wafat tahun 478 H. Lihat, Ibid, hal. 7. Pendapat Imam al-Haramain ini dikutip oleh Imam an-Nawawi dalam kitab, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, beliau menyatakan, “Boleh mengangkat Imamah (Khilafah) untuk untuk Imam (Khalifah) di dua wilayah yang berjauhan.” Pendapat ini dikomentari Imam an-Nawawi, “Ini merupakan kesalahan, karena ijmak umat menyatakan, bahwa itu tidak boleh.” Lihat, Imam an-Nawawi, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, Dâr al-Hadîts, Qâhirah, cet. 1431 H/2010 M, Juz XX/73.
    6. Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/254.
    7. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, Juz II/23.
    8. Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/252-254.
    9. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wa al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2002 M, hal. 50-56;
    10. Al-‘Allamah al-Hâfidz al-Imam as-Suyûthi, Târîkh al-Khulafâ’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1408 H/1988 M, hal. 3-5;
    11. Al-‘Allamah Ibn Khaldûn, al-‘Ibar wa Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyâmi al-‘Arabi wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Ashârahum min Dzawî as-Sulthâni al-Akbar, Bait al-Afkâr ad-Duwaliyyah, Beirut, t.t., hal. 657.

Tidak ada komentar untuk "Perilaku Khalifah Bukan Sumber Hukum"