Pertempuran Sepanjang Usia: Jihad Abadi Melawan Setan dan Kemuliaan Mukmin


Mari kita awali majelis ini dengan membacakan surat Al-Fatihah yang mulia, kita hadiahkan keberkahannya kepada mualif (penulis) kitab ini, Al-Alamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah, guru-guru kita sekalian, dan kepada kita semua yang hadir di majelis ilmu yang penuh berkah ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa melimpahkan keberkahan ilmu, memberikan manfaat yang besar, serta menganugerahkan taufik dan hidayah kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.

Pertempuran yang Tak Pernah Usai di Dunia

Al-Alamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam untaian hikmahnya menyampaikan sebuah hakikat penting mengenai kehidupan seorang mukmin di dunia ini. Beliau mengisyaratkan bahwa peperangan melawan musuh yang tak terlihat, yaitu setan, bukanlah pertempuran sesaat atau sementara.

Beliau mengatakan, "Waqama sukol jihad fi hadid dar fi muddatil umr (kemudian pertempuran tadi itu berlangsung ya di negeri ini ya di dalam tenggat waktu atau umur allatiya bil idofah ya yang menjadi umur itu sampai ke akhirat ka nafsin wahid min anfasiha ya itu sebagai satu jadi seolah apa namanya sebagai satu kesatuan ya jadi kita itu kan pertempuran dengan setan itu enggak...)"

Dari ungkapan beliau, kita memahami bahwa pertempuran melawan setan adalah sebuah peperangan yang berlangsung sepanjang usia manusia di dunia ini. Ia bukanlah konflik yang bisa diakhiri dengan gencatan senjata atau kemenangan mutlak di dunia fana ini.

Abadi Hingga Akhirat

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa pertempuran ini akan terus membayangi setiap hembusan nafas seorang manusia. Seolah-olah, peperangan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi kita di dunia, berlangsung sebagai satu kesatuan yang utuh dan baru akan benar-benar berakhir kelak di akhirat.

Keutamaan Mukmin dalam Jihad Abadi

Kemudian, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan dan keutamaan orang-orang mukmin dalam jihad abadi ini, beliau mengutip firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 111:

"Wa syaro minal mu'minin anfusahum wa amwalahum bi annalahumul jannah yuqatiluna fi sabilillah fa yaqtuluna wa yuqtalun."

Yang artinya, "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan imbalan surga. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh."

Ayat yang mulia ini menjelaskan sebuah transaksi agung antara Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan harga yang tak ternilai, yaitu surga.

Sebagai imbalannya, orang-orang mukmin tersebut berjuang di jalan Allah (fi sabilillah). Bentuk perjuangan ini bisa bermacam-macam, termasuk di dalamnya adalah memerangi hawa nafsu dan godaan setan yang senantiasa berusaha menjauhkan mereka dari jalan kebenaran. Dalam perjuangan ini, mereka bisa meraih kemenangan dengan menundukkan musuh-musuh Allah, atau bahkan mengorbankan jiwa mereka di jalan-Nya.

Janji Allah yang Diteguhkan: Perniagaan Agung dengan Surga

Janji yang Tak Pernah Mungkir

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan dengan jelas dan tegas dalam kitab-kitab-Nya yang mulia, yaitu Taurat, Injil, dan Al-Qur'an, mengenai sebuah janji yang pasti akan ditepati. Janji ini bukanlah sekadar harapan, melainkan sebuah ikatan yang kuat dan terkonfirmasi (wa'dun muakkadun alaih).

Allah memberitahukan, "Wa 'dan 'alaihi haqqan fit Taurati wal Injili wal Qur'an." (Dan itu adalah janji yang benar dari-Nya di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an).

Lebih lanjut, Allah menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat mengingkari janji-Nya (laa yukhliku-llaahu mi'aadah). Janji yang telah Dia tetapkan, khususnya bagi orang-orang mukmin yang berjuang di jalan-Nya, adalah kepastian yang tak terbantahkan.

Oleh karena itu, Allah menyeru orang-orang mukmin untuk bergembira dengan perniagaan yang telah mereka lakukan (fastabsyiruu bibai'ikumul ladzii baaya'tum bihi). Perniagaan ini adalah penjualan jiwa dan harta mereka kepada Allah dengan imbalan surga.

Dan inilah kemenangan yang agung (wa dzaalika huwal fauzul 'adhiim).

Memahami Nilai Transaksi dengan Sang Pencipta

Lalu, bagaimana kita dapat memahami betapa agungnya perniagaan ini? Al-Alamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengajak kita untuk merenungkan beberapa aspek penting:

"Allati man arafa qadraha falyandhur ilal musytari man huwa wa ilal mabii'i maa huwa wa ilats tsamani maa huwa wa man ajraa 'alaihi haadzal 'aqd fa ayyu fawzin a'dhomu min haadzaa wa ayyu tijaaratin arba'hu min haadzihi."

(Barangsiapa yang mengetahui nilainya, maka hendaknya ia melihat siapa pembelinya, apa yang dibeli, apa harganya, dan siapa yang melangsungkan akad ini. Kemenangan mana yang lebih agung dari ini? Dan perniagaan mana yang lebih menguntungkan dari ini?)

Beliau mengajak kita untuk menelisik:

  • Siapakah Pembelinya? Tentu saja, Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.
  • Apakah yang Dibeli? Jiwa dan harta orang-orang mukmin, sesuatu yang sebenarnya adalah milik Allah semata.
  • Apakah Harganya? Surga yang penuh dengan kenikmatan abadi dan tak terbayangkan.
  • Siapakah yang Melangsungkan Akad Ini? Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri yang menawarkan dan mengikat perjanjian ini dengan hamba-hamba-Nya.

Dengan memahami hakikat ini, maka pertanyaan retoris yang muncul adalah: Kemenangan mana yang lebih agung dari transaksi ini? Perniagaan mana yang lebih menguntungkan dari perniagaan dengan Allah? Tentu saja, tidak ada yang lebih agung dan lebih menguntungkan.

Hakikat Penghambaan Diri

Lebih lanjut, Ibnu Athailah As-Sakandari rahimahullah memberikan perumpamaan yang mendalam mengenai kedudukan manusia di hadapan Allah. Beliau menyatakan bahwa manusia itu ibarat seorang hamba atau budak yang dibeli.

Lalu, untuk apakah seorang budak dibeli? Tentu saja, untuk memberikan pelayanan dan pengabdian kepada majikannya. Dan siapakah majikan kita yang sebenarnya? Tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Oleh karena itu, jika seorang manusia hidup di dunia ini namun tidak mengabdikan dirinya kepada Allah, maka ia ibarat budak yang dibeli namun tidak memberikan manfaat kepada tuannya. Keberadaannya menjadi sia-sia, karena tujuan penciptaannya adalah untuk beribadah dan melayani Allah.

Pengabdian ini terwujud dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta beramal saleh sebagaimana yang Dia kehendaki. Inilah hakikat perniagaan yang menguntungkan, bahkan tidak ada perniagaan lain yang melebihi keuntungannya.

Ketaatan Sebagai Senjata Melawan Setan

Maka, dengan pemahaman akan agungnya perniagaan ini, kita seharusnya menyadari betapa pentingnya ketaatan kepada Allah. Jika dosa-dosa yang kita perbuat justru menjadi amunisi bagi setan untuk memperkuat dirinya dan mengalahkan kita, maka ketaatan kita seharusnya menjadi amunisi kita untuk melawan dan mengalahkan setan.

Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, orang yang taat memiliki benteng perlindungan yang kokoh. Ketaatan itu sendiri menjadi perisai yang melindungi dirinya dari godaan dan tipu daya setan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Man dakhalahu kaana aaminaa." (Barangsiapa yang memasukinya (benteng), maka dia akan aman). Dan benteng seorang mukmin adalah ketaatannya kepada Allah.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berusaha untuk meningkatkan ketaatan kita kepada Allah, agar kita memiliki kekuatan untuk melawan musuh abadi kita, setan, dan meraih kemenangan serta keuntungan yang abadi di sisi-Nya.

Penegasan Allah tentang Perniagaan yang Menguntungkan dan Kekuatan Mukmin

Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan rahmat dan kasih sayang-Nya menegaskan dan menguatkan perkara perniagaan yang agung ini kepada umat manusia melalui firman-Nya yang mulia dalam Surat Ash-Shaff ayat 10 hingga 13:

"Yaa ayyuhalladziina aamanuu hal adullukum 'alaa tijaaratin tunjiikum min 'adzaabin aliim. Tu'minuuna billaahi wa rasuulihii wa tujaahiduuna fii sabiilillaahi bi amwaalikum wa anfusikum dzaalikum khairul lakum in kuntum ta'lamuun. Yaghfir lakum dzunuubakum wa yudkhilkum jannaatin tajrii min tahtihal anhaar wa masaakina thayyibatan fii jannaati 'adnin dzaalikal fauzul 'adhiim. Wa ukhraa tuhibbuunahaa nashrun minallaahi wa fathun qariib wa basysyiril mu'miniin."

Yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepadamu suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memberimu) tempat-tempat tinggal yang baik di surga 'Adn. Itulah kemenangan yang besar. Dan ada lagi (karunia) yang kamu sukai, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktu). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman." (QS. Ash-Shaff: 10-13)

Ayat-ayat ini adalah gambaran jelas dan penegasan langsung dari Allah mengenai perniagaan yang paling menguntungkan, yaitu iman dan jihad di jalan-Nya. Imbalannya pun sangat agung: ampunan dosa, surga dengan segala kenikmatannya, dan pertolongan serta kemenangan dari Allah di dunia.

Kekuatan dan Keutamaan Mukmin di Sisi Allah

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menjadikan musuh (setan) berkuasa atas hamba-Nya yang mukmin, hamba yang paling dicintai-Nya. Hal ini bukan berarti seorang mukmin tidak akan diuji, namun kekuasaan mutlak untuk mengalahkannya tidak akan diberikan kepada musuh.

"Walam yusallith subhanahu hadzal 'aduwwa 'alaa 'abdil mu'min alladzi huwa ahabbul khalqi ilaihi illa li anna al-jihaada ahabbusy-syai'i ilaihi wa ahluhu arfa'ul khalqi darajaatan wa aqrabuhum ilaihi wasiilatan."

(Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menjadikan musuh ini berkuasa atas hamba-Nya yang mukmin, yang merupakan makhluk yang paling dicintai-Nya, kecuali karena jihad adalah sesuatu yang paling dicintai-Nya dan pelakunya adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dan paling dekat jalannya kepada-Nya.)

Alasannya adalah karena jihad merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah, dan orang-orang yang berjihad adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya di sisi-Nya serta paling dekat kedudukannya dengan-Nya.

Hati Sebagai Pusat Perlawanan

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyerahkan "bendera" peperangan melawan musuh-Nya kepada inti dari makhluk-Nya, yaitu hati orang mukmin.

"Faqada subhanahu liwaa haadzal harbi li khulaashati makhluuqaatihi wa huwa al-qalbul ladzii huwa mahallu ma'rifatihi wa mahabbatihi wa 'ubuudiyyatihi wal ikhlaashi lahu wat-tawakkuli 'alaihi wal-inaabati ilaihi."

(Maka Allah kemudian menyerahkan bendera peperangan ini kepada inti makhluk-Nya, yaitu hati yang merupakan tempat ma'rifat (mengenal)-Nya, mahabbah (cinta)-Nya, 'ubudiyyah (penghambaan)-Nya, ikhlas kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan inabah (kembali) kepada-Nya.)

Hati adalah pusat segala bentuk penghambaan: mengenal Allah, mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya, ikhlas dalam beramal, bertawakal kepada-Nya, dan bertaubat kepada-Nya. Oleh karena itu, dengan hatilah seorang mukmin berperang melawan musuh-musuh Allah.

Pertolongan Allah Melalui Malaikat

Sebagai bentuk kasih sayang dan dukungan-Nya kepada hamba-Nya yang beriman dalam peperangan ini, Allah menguatkan mereka dengan bala tentara dari kalangan malaikat yang senantiasa membersamai hati mereka.

"Fawallaahu ayyada 'abda fii haadzal harbi bi jundin min al-malaa'ikah laa yufaariquunahu."

(Maka demi Allah, Dia menolong hamba-Nya dalam peperangan ini dengan pasukan dari kalangan malaikat yang tidak pernah meninggalkannya.)

Sebagaimana rumah, hati seorang mukmin yang senantiasa digunakan untuk ketaatan akan dihuni oleh para malaikat, yang memberikan ketenangan, kekuatan, dan inspirasi untuk berbuat kebaikan. Sebaliknya, hati yang dipenuhi dengan kemaksiatan akan menjadi sarang bagi setan dan jin.

Malaikat Sebagai Penjaga dan Pemberi Semangat

Allah juga mengutus malaikat-malaikat yang senantiasa mengikuti dan menjaga orang-orang mukmin dari depan dan belakang atas perintah Allah.

"Tsumma ayyadahu bi mu'aqqibaatin min baini yadaihi wa min khalfihi yahfadhuunahu min amrillaah." (QS. Ar-Ra'd: 11)

Malaikat-malaikat ini bergiliran menjaga dan meneguhkan hati orang-orang mukmin, serta mendorong mereka untuk berbuat kebaikan. Mereka menjadi sumber bisikan-bisikan kebaikan yang memudahkan seorang mukmin untuk melakukan amal saleh, berbeda dengan bisikan setan yang mengajak kepada kemaksiatan.

Dengan demikian, seorang mukmin tidaklah sendiri dalam pertempuran melawan setan. Allah senantiasa bersamanya, menguatkannya dengan pertolongan-Nya, dan mengirimkan para malaikat sebagai penjaga dan pemberi semangat dalam jihadnya.

Pertolongan Malaikat, Wahyu, Akal, dan Iman dalam Perlawanan Terhadap Setan (Bagian 2)

Bisikan Kebaikan dari Malaikat

Rahasia di balik keringanan seorang mukmin dalam melakukan ketaatan terletak pada bisikan kebaikan yang senantiasa datang dari para malaikat. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11:

"Lahu mu'aqqibaatun min baini yadaihi wa min khalfihi yahfadhuunahu min amrillaah."

Yang artinya: "Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, yang menjaganya atas perintah Allah."

Malaikat-malaikat ini menjaga kita atas perintah Allah, dan mereka pula yang mendorong serta menguatkan hati orang-orang mukmin untuk senantiasa melakukan ketaatan. Mereka menjanjikan kemuliaan Allah dan membukakan mata hati sehingga ketaatan menjadi cahaya yang menerangi jalan hidup.

Basirah dan Kekuatan Mukmin

Sebagaimana para nabi yang dianugerahi kekuatan ('aidi) untuk melaksanakan perintah Allah dan basirah (abshar), yaitu kemampuan melihat dengan mata batin, orang-orang mukmin juga diberikan basirah karena senantiasa ditemani dan tidak pernah ditinggalkan oleh para malaikat. Mereka diberi kabar gembira (yubasysyiruunahu) oleh para malaikat.

Lebih dari itu, malaikat meneguhkan (yusabbituunahu) hati orang-orang mukmin agar sabar dan istiqamah dalam menghadapi ujian dan menjalankan ketaatan. Mereka mengingatkan bahwa kesabaran itu hanya sesaat, namun kenikmatan dan istirahat abadi akan menjadi ganjarannya.

Wahyu sebagai Kekuatan Tambahan

Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta'ala menguatkan orang-orang mukmin dengan bala tentara lain, yaitu wahyu dan kalam-Nya (Al-Qur'an).

"Tsumma ayyadahu subhaanahu bi jundin aakhar min wahyihi wa kalaamihi fa arsala ilaihi rusulahu wa anzala ilaihi kitaabahu fa zdaada quwwatan ilaa quwwatihi wa madadann ilaa madadihi wa 'uddatann ilaa 'udadadihi."

(Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menguatkannya dengan tentara lain, yaitu dari wahyu dan kalam-Nya. Dia mengutus kepadanya para rasul-Nya dan menurunkan kepadanya kitab-Nya, maka bertambahlah kekuatan di atas kekuatannya, tambahan di atas tambahannya, dan perlengkapan di atas perlengkapannya.)

Wahyu dan Al-Qur'an adalah tentara Allah yang dikirimkan untuk menguatkan hati orang-orang mukmin. Dengan membaca dan memahami Al-Qur'an, seorang mukmin memiliki senjata untuk membentengi diri dari godaan setan. Hati yang telah kuat karena pertolongan malaikat akan semakin kokoh dengan petunjuk dan cahaya Al-Qur'an. Ini adalah tambahan kekuatan, dukungan, dan logistik spiritual dalam peperangan melawan hawa nafsu dan setan.

Akal, Makrifat, Iman, dan Keyakinan sebagai Kekuatan Tambahan

Selain pertolongan malaikat dan wahyu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menguatkan orang-orang mukmin dengan akal, makrifat (pengetahuan), iman, dan keyakinan.

"Wa ayyadahu maalikan bi al-'aqli wa waziiran lahu wa mudabbiran wa bil ma'rifati musyiiratan 'alaihi wa naashihatan lahu wa bil iimaani mutsabbitan lahu wa muayyidan wa naashiran wa bil yaqiini kaasyifan lahu 'an haqaa'iqil amri."

(Dan Dia menguatkannya sebagai pemilik dengan akal sebagai pembantu dan pengatur baginya, dengan makrifat sebagai pemberi isyarat dan penasihat baginya, dengan iman sebagai peneguh, pendukung, dan penolong baginya, dan dengan keyakinan sebagai penyingkap baginya tentang hakikat perkara.)

  • Akal: Berfungsi sebagai pembantu dan pengatur, membantu memahami dan menolak bisikan setan.
  • Makrifat (Pengetahuan): Memberikan isyarat dan nasihat, membimbing menuju kebenaran dan menjauhi kebatilan.
  • Iman: Meneguhkan, mendukung, dan menolong hati dalam menghadapi godaan.
  • Keyakinan (Yaqin): Menyingkap hakikat perkara, membuat janji Allah yang tidak terlihat menjadi nyata dalam hati. Iman adalah kasyif (penyingkap) yang memungkinkan seorang mukmin melihat dengan mata hatinya kebenaran janji Allah.

Kekuatan Iman yang Melampaui Kecerdasan Semata

Syaikh Taqiyuddin Al-Hilali rahimahullah menjelaskan mengapa banyak orang zaman sekarang yang hafal Al-Qur'an dan hadis, bahkan melebihi hafalan para imam terdahulu, namun tidak memiliki pengaruh dan kekuatan spiritual seperti mereka.

Beliau menjawab bahwa para imam seperti Imam Malik dan Imam Bukhari tidak hanya hafal dan memahami, tetapi mereka juga mendapatkan waaqi'ul afkaar, yaitu fakta pemikiran yang terkandung dalam nash (Al-Qur'an dan hadis). Mereka mampu menangkap makna dan implikasi mendalam dari ayat dan hadis sehingga memiliki pengaruh yang dahsyat.

Contohnya adalah kisah Abdullah bin Rawahah yang menangis tersedu-sedu ketika mendengar ayat tentang neraka. Beliau mampu menangkap waaqi'ul afkaar dari ayat tersebut dan membayangkan dirinya termasuk di dalamnya, sehingga ayat itu menghujam kuat di hatinya.

Begitu pula kisah Sultanul Ulama Sayid Zainuddin Abdus Salam yang berani mengeluarkan fatwa yang menentang penguasa Mamluk. Kekuatan yaqin dan penghayatan akan wujud Allah memberikan keberanian dan karamah kepadanya sehingga para pengepung rumahnya justru yang ketakutan.

Ini menunjukkan bahwa kekuatan iman dan keyakinan yang mendalam melampaui kecerdasan semata. Kemampuan menangkap waaqi'ul afkaar dari wahyu Allah akan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam hati dan tindakan seorang mukmin dalam melawan hawa nafsu dan godaan setan.

Pertolongan Malaikat, Wahyu, Akal, dan Iman dalam Perlawanan Terhadap Setan (Bagian 3 - Terakhir)

Kekuatan Iman yang Menaklukkan Musuh dan Menginspirasi Ulama

Kekuatan iman yang mendalam mampu memberikan pengaruh yang luar biasa, bahkan menaklukkan musuh secara lahir dan batin. Inilah yang dimiliki oleh para ulama Rabbani, seperti Sultanul Ulama Sayid Zainuddin Abdus Salam. Beliau mampu menghadirkan waaqi'ul afkaar, yaitu pemahaman mendalam dan penghayatan akan kebesaran Allah, sehingga memiliki hebah (wibawa) dan pengaruh yang luar biasa. Bahkan, penguasa yang zalim pun terlihat kecil di matanya.

Kekuatan iman dan makrifat ini juga membukakan mata batin (kasyifan) seorang mukmin, sehingga ia mampu melihat hakikat perkara yang tidak tampak bagi orang lain. Ia melangkah berdasarkan keyakinan yang kuat kepada janji Allah, meskipun secara lahir tampak sulit atau mustahil.

Kisah Badui dan Kekuatan Iman pada Rezeki

Kisah Asma'i dengan seorang Badui menjadi contoh bagaimana iman yang kuat pada rezeki Allah mampu mengubah pandangan hidup seseorang secara drastis. Ketika mendengar ayat Al-Qur'an tentang rezeki yang ada di langit, orang Badui tersebut seketika itu juga membelanjakan seluruh hartanya, karena keyakinannya bahwa rezekinya tidaklah terbatas pada apa yang ada di tangannya saat itu.

Keyakinan yang mendalam ini (kasyifan) membukakan baginya hakikat bahwa rezeki sepenuhnya berada di tangan Allah. Bahkan, ketika ayat selanjutnya dibacakan tentang sumpah Allah atas kebenaran janji-Nya tentang rezeki, orang Badui tersebut pingsan dan meninggal dunia, karena penghayatannya yang begitu mendalam dan perasaannya seolah-olah belum menunaikan hak Allah sepenuhnya.

Kisah ini menunjukkan betapa dahsyatnya pengaruh Al-Qur'an ketika dibaca dan dihayati dengan hati yang bersih dan iman yang kuat. Pemahaman yang mendalam (waaqi'ul afkaar) akan mengubah cara pandang dan tindakan seseorang.

Kekuatan Batin dan Pertolongan Ilahi bagi Orang yang Taat

Orang yang memiliki iman dan keyakinan yang kuat seolah-olah dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri janji-janji Allah (yayinan). Mereka tidak mudah tertipu oleh gemerlap dunia yang fana, karena mereka memahami hakikat kehidupan yang sebenarnya dan kenikmatan abadi yang dijanjikan Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Fathir: "Yaa ayyuhannaasu innna wa'dallaahi haqqun falaa taghurrannakumul hayaatud dunyaa." (Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu pasti, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu).

Orang yang tertipu dunia akan menderita dalam meraihnya, menjaganya, dan kehilangan kenikmatan hakiki berupa ridha Allah. Kesempatan untuk meraih ridha Allah hanya ada di dunia, dan ketika ajal tiba, penyesalan pun tak lagi berguna.

Sebaliknya, orang-orang yang beriman dan taat adalah kekasih dan tentara Allah dalam memerangi musuh-musuh-Nya. Mereka dikuatkan dengan pertolongan malaikat, wahyu, akal, iman, dan keyakinan, sehingga mampu menghadapi segala godaan dan rintangan di jalan Allah. Mereka seolah-olah melihat dengan mata hati mereka sendiri janji-janji Allah bagi para kekasih dan tentaranya.