Bangkitkan Cita-Citamu: Belajar dari Para Ksatria Hebat-Sholahul Ummah : 25

Siapa Sih Ksatria Madinah Al-Fadhilah Itu?

Kita akan bahas tentang "Fursanul Madin Al-Fadhilah"—atau gampangnya, Para Ksatria Kota Ideal. Istilah ini dipakai oleh Al-Farabi untuk menggambarkan sebuah negara atau masyarakat yang sangat baik. Lalu, siapa saja orang-orang hebat ini?

Kitab kita bilang, mereka itu "Humuz Zuhhadul Mutajarridun Wal Aqwiyaul Mujahidun, Usyaqul Jannah Al-Mutahajidun." Mari kita bedah satu per satu:

1. Zuhud: Hidup di Dunia, Hati untuk Akhirat

Mereka adalah orang-orang yang zuhud. Artinya, mereka memang hidup di dunia, tapi hati dan pikiran mereka tidak melekat pada dunia. Seperti kata Nabi Muhammad SAW, orang cerdas itu adalah yang bisa mengendalikan dirinya dan beramal untuk persiapan setelah kematian.

Pandangan mereka jauh ke depan, ke akhirat. Tujuan utama mereka cuma satu: mendapat ridha Allah SWT. Bagi mereka, harta, jabatan, atau apa pun di dunia ini cuma alat, bukan tujuan. Mereka disebut "mutajarridun"—orang yang sudah bisa melepas hati dari ikatan dunia. Bukan berarti cuek dengan dunia, ya! Tapi, setiap aktivitas dunia mereka selalu dihubungkan dengan Allah. Kerja bukan cuma buat uang, tapi sebagai ibadah dan bekal akhirat.

2. Iman Kuat dan Berani Berjuang

Para ksatria ini juga "Al-Aqwiyaul Mujahidun"—orang-orang yang kuat imannya dan berani berjuang di jalan Allah. Mereka mendedikasikan hidupnya buat Allah. Ingat firman Allah di Surah Al-Ahzab: "Di antara orang-orang beriman itu ada laki-laki (ksatria) yang menepati janji mereka kepada Allah." Mereka adalah orang-orang yang jujur pada janji mereka kepada Tuhan.

3. Rindu Surga dan Suka Bangun Malam

Terakhir, mereka adalah "Usyaqul Jannah Al-Mutahajidun". Ini berarti mereka sangat merindukan dan mencintai surga. Ciri khas lainnya, mereka selalu bangun dan shalat tahajud di sepertiga malam terakhir. Di waktu sepi itu, mereka bermunajat, curhat, dan menyampaikan semua keluh kesah hanya kepada Allah, bukan kepada manusia.

Ini sesuai dengan hadis Nabi SAW: "Kemuliaan seorang mukmin itu ada pada shalat malam, dan kemuliaan mereka karena mereka tidak butuh pada manusia. Mereka tidak pernah mengeluh kepada manusia, melainkan kepada Allah." Inilah gambaran sejati para perindu surga!

Hati Bersih, Iman Bergelora

Para ksatria ini juga disebut "Ashabul Imarah Al-Imaniyah"—mereka punya iman yang hidup, membara, dan bergelora di dalam hati. Iman yang kuat ini terpancar dalam setiap tingkah laku mereka.

Mereka punya "Himmah Shafiyah"cita-cita yang sangat mulia, bersih, dan murni. Derajat mereka tinggi, dan mereka adalah contoh teladan bagi semua orang. Bahkan, hampir tidak ada yang bisa mengalahkan mereka, kecuali para malaikat. Kenapa? Karena hati mereka jernih, tulus, dan bersih.

Bukan cuma hati, seluruh anggota tubuh mereka juga bersih. Mereka paham betul ilmu tentang "keadaan hati" (akidah, akhlak, tasawuf) dan "keadaan anggota tubuh" (fikih). Islam itu menyatukan iman, akhlak, dan syariat dengan sempurna.

Karena ilmu dan pemahaman ini, hati dan badan mereka selalu bersih dan terkontrol. Kalaupun mereka berbuat salah—karena mereka bukan Nabi yang tidak mungkin salah—mereka langsung bertaubat. Taubat adalah cara untuk menghentikan kejahatan dan memutus mata rantai keburukan.

Kekhilafahan Rasyidah: Kota Ideal yang Nyata

Para Ksatria Kota Ideal ini adalah penduduk atau masyarakat dari "Al-Madinah Al-Fadhilah" itu sendiri. Dalam Islam, ini adalah perwujudan dari Khilafah Rasyidah. Inilah model negara ideal yang pernah ada di dunia.

Lihat saja pencapaian mereka! Di zaman Khulafaur Rasyidin, misalnya, Umar bin Khattab RA berhasil menghilangkan kemiskinan di seluruh Hijaz. Sampai tidak ada lagi orang miskin yang berhak menerima zakat. Hebat, kan?

Cucu beliau, Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sebagai "Khalifah yang Adil," juga mencetak sejarah serupa. Ada cerita, waktu beliau jadi khalifah, serigala yang digembalakan bersama domba tidak memangsa domba-domba itu. Orang-orang bertanya kenapa. Pemilik domba menjawab, "Ini karena khalifah kita sekarang sangat adil, punya wibawa dan karomah luar biasa, sampai serigala pun segan."

Ini bukti keadilan yang dibangun dalam sistem Khilafah yang Berpedoman Kenabian, dengan para khalifah yang adil. Inilah yang Al-Farabi sebut Al-Madinah Al-Fadhilah.

Prestasi mereka luar biasa. Hanya dalam dua tahun, Umar bin Abdul Aziz tak cuma berhasil basmi kemiskinan, bahkan saking makmurnya, tidak ada lagi yang berhak menerima zakat di negeri Muslim, padahal beliau sendiri hidup sederhana.

Inilah gambaran dari "Qaddamuhum Musri'ah Wa Asqafuhum Fil Himam Al-'Aliyah Mabsutah." Kaki mereka bergerak cepat, dan sayap-sayap cita-cita luhur mereka membentang tinggi di langit, membawa mereka terbang setinggi-tingginya. Inilah dia Para Ksatria Kota Ideal!

Bagaimana Menjadi Ksatria Kota Ideal? Peran Penting Ilmu dan Proses

Kita sudah bahas tentang Para Ksatria Madinah Al-Fadhilah, yaitu gambaran masyarakat atau negara yang sangat ideal. Sosok-sosok hebat seperti para Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Adil) di masa lalu adalah contoh nyatanya. Mereka digambarkan begitu agung, sampai-sampai "tidak ada lagi di atas mereka kecuali malaikat." Kehebatan mereka datang dari cita-cita yang tinggi.

Nah, pertanyaan pentingnya sekarang: Bagaimana caranya kita bisa punya kualitas seperti mereka? Bagaimana kita bisa jadi "Fursanul Madinah Al-Fadhilah" atau para "rijal" (lelaki sejati) seperti yang disebut di Surah Al-Ahzab?

Ilmu Adalah Kunci Utama

Jawabannya ada pada satu kalimat penting: "Al-Ilmu Tharīqun Lil 'Ulum." Artinya, ilmu adalah jalan untuk mendaki tangga ketinggian.

  • Ilmu Membangkitkan Kesadaran: Ilmu yang dimiliki seseorang itu akan membuatnya tidak bisa diam. Dia akan merasa gelisah jika tidak melakukan sesuatu. Kenapa? Karena ilmunya mengingatkannya: "Bagaimana nanti kalau kamu ditanya oleh Allah tentang umatmu? Apa yang sudah kamu lakukan?"
  • Keluar dari Zona Nyaman: Kegelisahan ini membuat orang berilmu tidak mau berada di zona nyaman. Dia tahu ada banyak hal yang harus diperbaiki dan tantangan yang harus dihadapi. Dia siap menghadapi kesulitan dan ujian demi tujuan yang mulia.
  • Contoh dari Para Ulama: Sejarah menunjukkan banyak ulama besar seperti Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Hanifah, bahkan Said bin Zubair, menghadapi berbagai ujian berat. Ini bukan tanpa alasan. Ilmu yang mereka miliki membuat mereka merasa bertanggung jawab di hadapan Allah. Mereka tidak bisa tinggal diam melihat kondisi yang ada. Seperti kata Abu Darda RA: "Yang paling aku takutkan ketika Tuhanku bertanya kepadaku: Apa yang kamu lakukan dengan ilmumu?"

Jadi, orang yang punya ilmu tidak akan pernah diam. Dia akan terus bergerak, berjuang, dan berusaha untuk melakukan perbaikan dan mencapai yang ideal. Ilmu adalah pendorong mereka.

Perlahan Tapi Pasti: Kecepatan dalam Kesabaran

Kadang, kita melihat proses yang didasari ilmu itu terlihat lambat. Ada yang bilang, "Ah, kelamaan kajiannya, kelamaan rencananya, yang penting action aja!"

Namun, ada sebuah ungkapan bijak: "Minal ibtha'i yunaddu wa ba'dhul yahsibūna annahu ghayru sir." Artinya, di antara kita ada yang bersabar dan matang dalam berproses (terlihat lambat), sementara sebagian lain mengira itu tidak cepat (alias lambat). Padahal, di balik kelambatan itu, ada kecepatan luar biasa.

Ini maksudnya:

  • Pemikiran Matang Sebelum Bertindak: Islam mengajarkan kaidah: "Al-fikru qablal amal" (berpikir sebelum beramal). Kita harus merenung, mengkaji matang-matang, baru bertindak. Memang ini butuh waktu.
  • Proses yang Membangun Kekuatan: Contohnya dalam menuntut ilmu. Menghafal Al-Qur'an, hadis, matan kitab, lalu mempelajari syarahnya—ini semua proses yang panjang dan terlihat lambat. Tapi, justru di balik kelambatan inilah ada "kecepatan" yang dahsyat. Mengapa? Karena fondasi yang dibangun kokoh.
  • Pondasi Kokoh, Hasil Abadi: Ibarat membangun rumah. Jika dasarnya kuat dan direncanakan matang-matang (meski prosesnya lama), hasilnya akan kokoh dan bertahan. Sebaliknya, yang ingin "potong kompas" atau langsung bertindak tanpa dasar ilmu, bangunannya bisa jadi rapuh, mudah hancur, dan akhirnya harus memulai dari nol lagi.
  • Menyiapkan Umat, Bukan Mengeluh: Sama halnya dalam perjuangan umat. Orang yang sering bilang "umat enggak siap" adalah mereka yang tidak pernah terlibat dalam proses menyiapkan umat. Sementara, mereka yang sabar berproses, terus-menerus menyiapkan umat, justru melihat iman umat bergelora dan keinginan mereka membuncah.

Belajar dari Kisah Rasulullah SAW di Mekah

Lihatlah dakwah Rasulullah SAW di Mekah selama 13 tahun. Ini adalah masa yang sangat panjang dan penuh cobaan:

  • Tawaran Duniawi Ditolak: Orang-orang Quraisy menawarkan kekuasaan, harta, bahkan wanita kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi, beliau menolak semuanya! Mengapa? Karena kekuasaan atau harta itu tidak akan berarti jika tidak disertai iman dan tujuan yang benar. Kekuasaan tanpa dukungan agama hanya simbol belaka.
  • Fokus Membangun Individu: Selama 13 tahun itu, Rasulullah fokus membangun karakter para sahabat. Beliau membina pemikiran, sikap, dan membiasakan mereka dengan ibadah malam (qiyamullail) di rumah Arqam bin Abil Arqam. Setiap ayat Al-Qur'an turun, langsung diajarkan dan diamalkan.
  • Ujian Berat Tak Hentikan Perjuangan: Mereka menghadapi ujian bertubi-tubi, disiksa, bahkan dibunuh. Tapi, Rasulullah dan para sahabat tidak pernah berhenti melakukan tanggung jawab dan kewajiban mereka untuk mengubah dan membina umat.
  • "Lambat" di Awal, "Cepat" di Akhir: 13 tahun di Mekah hanya menghasilkan sekitar 40 orang Muslim sebelum hijrah. Ini terlihat sangat lambat. Tapi, justru di balik "kelambatan" dan kesabaran ini, Allah mempertemukan Nabi dengan kaum Ansar (penolong dakwah) di Madinah.
  • Kekuasaan yang Bermakna: Setelah proses panjang dan matang di Mekah, ketika tiba di Madinah, kekuasaan dan harta yang ditawarkan diterima oleh Rasulullah. Kenapa? Karena di Madinah, kekuasaan itu berdiri di atas dasar agama dan iman yang kokoh, dengan umat yang sudah siap. Para sahabat sudah menjadi negarawan, hakim, panglima perang, dan berbagai peran penting lainnya, karena sudah disiapkan dengan matang.

Inilah bukti bahwa proses yang terlihat lambat, yang didasari ilmu dan kesabaran, justru menghasilkan kecepatan dan hasil yang luar biasa dan abadi. Bangunan yang dibangun pelan-pelan dengan fondasi kuat tidak akan mudah runtuh.

Buah dari Kesabaran: Penaklukan Jazirah Arab dan Pelajaran Penting

Setelah membahas bagaimana ilmu adalah kunci untuk mencapai ketinggian, kita melihat contoh nyata dari sejarah Rasulullah SAW. Proses dakwah 13 tahun di Mekah yang penuh kesabaran, meski terlihat lambat, justru menjadi fondasi kokoh untuk lompatan besar di Madinah.

Kecepatan di Balik Kelambatan

Ingatlah ungkapan: "Minal ibṭā'i yusri', wa ba'ḍul yaḥsibūna annahu ghayru sir'." Artinya, "Di balik kelambatan itu, ada kecepatan luar biasa."

  • Pilihan Rasulullah: Bayangkan jika Rasulullah SAW di Mekah menerima tawaran kekuasaan dari Quraisy, tanpa melanjutkan metode dakwah dan rencananya. Mungkin saat itu terlihat "cepat" mendapatkan kekuasaan, tapi hasilnya bisa jadi rapuh dan tidak abadi.
  • Realita di Madinah: Yang terjadi justru sebaliknya. Setelah 13 tahun membangun fondasi keimanan dan karakter di Mekah, dalam waktu 10 tahun di Madinah, seluruh Jazirah Arab — yang kini meliputi 7 negara (Saudi, Bahrain, Qatar, Emirat Arab, Yaman, Kuwait, dan Oman) — berhasil takluk di bawah kekuasaan Rasulullah SAW. Ini adalah bukti nyata "kecepatan" yang lahir dari "kelambatan" yang penuh kesabaran dan strategi.

Kaidah Beramal: Berpikir Dulu, Tujuan Jelas

Dalam setiap proses dan perjuangan, kita tidak boleh terpengaruh oleh logika "harus cepat" atau "harus lambat" yang asal-asalan. Yang paling penting adalah fondasi pemikiran kita.

  1. "Al-fikru qablal amal" (Berpikir sebelum Beramal): Ini kaidah utama. Setiap tindakan harus diawali dengan pemikiran yang matang, kajian, dan perencanaan yang kokoh. Tanpa ini, amal akan rapuh dan tidak mencapai hasil yang diharapkan.
  2. Amal Bertujuan Jelas: Setelah berpikir, lakukanlah amal dengan tujuan yang jelas dan terukur. Ini penting agar kita bisa menilai apakah usaha kita berhasil atau tidak.

Jika kedua kaidah ini dijalankan, Insyaallah proses yang mungkin terlihat lambat akan membawa kita pada lompatan-lompatan besar dan hasil yang luar biasa.

Kesabaran Adalah Kunci Segala Kesuksesan

Para ulama di masa lalu bisa menghasilkan karya ribuan bahkan jutaan lembar buku. Ini bukan karena mereka terburu-buru, tapi karena mereka menjalani proses yang panjang dan "lambat" ini. Lambat di sini bukan berarti malas atau santai, melainkan menjalani tahapan yang tidak bisa dipercepat.

  • Proses Alami: Untuk menjadi seorang ulama besar, tidak ada jalan pintas atau "percepatan" instan. Semuanya harus berjalan secara alami, normal, dan sesuai porsinya.
  • Kesungguhan dan Ketekunan: Di dalam proses yang "lambat" ini, harus ada kesungguhan (jiddiyyah) dan ketekunan (muwadhabah). Tanpa ini, mustahil mencapai tujuan.

Maka dari itu, pesan pentingnya adalah:

  • Tingginya Kedudukan, Besarnya Ujian: Semakin tinggi kedudukan di sisi Allah yang ingin kita raih, pasti semakin sulit dan berat perjuangannya (masyaqqah).
  • Pahala Sesuai Kesulitan: Para ulama berkata, "Al-ajru 'ala qadril masyaqqah" (pahala itu sesuai dengan kadar kesulitan). Tidak ada kesuksesan besar yang diraih dengan bersantai.
  • Kunci Utama: "As-Sabru Miftahun An-Najahi" (Kesabaran adalah Kunci Kesuksesan): Sabar dalam berpikir, sabar dalam merencanakan, sabar dalam bertindak, dan sabar dalam menjalani setiap proses. Tanpa kesabaran, tidak akan ada kesuksesan.
  • Ilmu Membuka Segala Pintu: Semua kunci ini bisa terwujud karena ilmu. Kajian-kajian ilmu membuka wawasan, hati, dan membimbing langkah demi langkah menuju kedudukan mulia di sisi Allah SWT.


Tidak ada komentar untuk "Bangkitkan Cita-Citamu: Belajar dari Para Ksatria Hebat-Sholahul Ummah : 25"