Kezuhudan Nabi ﷺ dan Para Sahabat Radhiallahu Anhu [KH. Hafidz Abdurrahman, MA] (Hayatu shohabat)
Kajian Kitab Hilyatus Sahabah: Memahami Zuhud Ala Rasulullah dan Sahabat
Alhamdulillah, pada subuh hari ini kita semua diberikan kesehatan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga bisa mengikuti salat subuh berjamaah dan melanjutkan kajian kitab Hilyatus Sahabah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, menjadikan ilmu kita dan semua yang Allah anugerahkan kepada kita menjadi keberkahan di dalam hidup kita di dunia maupun di akhirat.
Sebelum kita mulai, mari kita bacakan surat Al-Fatihah untuk mualif kitab ini, Al-Allamah As Syekh Yusuf Alkandahlawi dan juga guru-guru kita semua, serta kita yang hadir di majelis ini baik yang langsung di masjid maupun mengikuti via Zoom atau YouTube. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada kita futuhnya, memberikan kemudahan. Al-Hadinah walin shih, Al-Fatihah.
Apa Itu Zuhud? Memahami Konsepnya dari Bahasa hingga Istilah
Kita akan membahas tentang zuhudnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabat. Zuhud itu disebutkan di dalam bahasa Arab. Jadi kalau kata 'zahadaan' itu bisa diartikan secara harfiah artinya adalah menolak ya. Menolak itu makna zuhud sebenarnya secara bahasa.
Tetapi, nanti istilah zuhud itu sebenarnya kemudian tidak berarti bahwa orang itu kemudian sama sekali tidak mau atau menolak terhadap dunia. Tidak ya. Tetapi ada penjelasan yang nanti dijelaskan oleh para ulama terkait dengan makna zuhud yang sebenarnya. Artinya, orang yang zuhud itu pada dasarnya bukan berarti dia anti atau tidak mau mendapatkan kenikmatan.
Tiga Realitas Hidup Menurut Ibnul Qayyim
Karena nikmat hidup itu, kata Ibnul Qayyim, tidak akan bisa lepas dari tiga hal. Jadi kita itu akan selalu di dalam hidup itu mengalami tiga hal atau mendapatkan tiga hal setiap hari.
- Nikmat: Pertama, kita kadang-kadang diberi nikmat oleh Allah. Dan nikmat itu tidak abadi. Karena itu, enggak ada yang bisa menolak nikmat. Semua diberi nikmat oleh Allah.
- Bala/Musibah: Yang kedua, kadang-kadang kita itu mendapatkan bala. Setiap hari kita dapat bala, dapat musibah. Karena itu, tidak ada orang yang bisa menolak musibah. Dan musibah itu apa? Musibah itu adalah apa saja yang tidak mengenakkan kita. Itu namanya musibah. Jadi, semua yang tidak mengenakkan kita itu namanya musibah.
- Dosa/Maksiat (Zallah): Nah, yang ketiga kata Ibnul Qayyim, kita itu bukan orang yang maksum. Karena itu bisa dikatakan tidak ada manusia yang dalam sehari itu dia tidak melakukan maksiat atau dosa. Karena itu kemudian ada istilah 'zallah'. Zallah itu terpeleset. Namanya manusia itu pasti dia akan terpeleset melakukan dosa.
Tiga itu selalu ada dalam hidup kita setiap hari: nikmat, musibah, kemudian terpeleset melakukan maksiat. Itu setiap hari, ya bisa dikatakan begitu, hampir setiap hari.
Ciri Orang Bahagia: Respon Terhadap Tiga Realitas Hidup
Nah, karena itu kemudian bagaimana respon kita atau sikap kita ketika menemukan salah satu dari ketiganya itu. Nah, itulah yang kemudian nanti menentukan kelas kita, posisi kita di mana. Makanya kemudian beliau mengatakan, "Alamatuss Sa'adah Salasun". Ciri orang bahagia itu ada tiga:
- Jika dia mendapatkan nikmat, maka dia bersyukur pada Allah.
- Jika dia mendapatkan bala/musibah, dia bersabar.
- Jika dia sedang terpeleset (melakukan dosa), maka dia segera bertobat.
Itu cirinya orang bahagia. Karena hidup itu selalu ada tiga rangkaian tadi: nikmat, musibah, dan terpeleset. Itu hidup kita ya. Tidak ada manusia yang steril dari tiga itu.
Manfaat Nikmat: Bukan Hanya Menerima, Tapi Memanfaatkan untuk Taat
Nah, karena itu kita tidak bisa menolak kita itu tidak. Makanya di dalam Al-Qur'an Allah menyatakan, "Summa tusalun yaumaidin 'aninna'im". Jadi, karena kita itu dapat nikmat, maka Allah tidak menanyakan nikmat itu dalam arti sebagai satu pemberian. Yang ditanyakan oleh Allah itu adalah bagaimana kita itu memanfaatkan nikmat itu. Itu yang ditanyakan oleh Allah.
"Summa tus'alunna yaumaidin anin na'im.". Kemudian kamu akan ditanya ketika itu pada hari kiamat tentang nikmat yang Allah berikan kepadamu itu kamu pakai apa, gitu. Dan itulah nanti konteksnya dengan syukur. Makanya Ibnul Qayyim di dalam kitabnya "Udatus Shobirin wiratus syakirin" beliau memasukkan syarat syukur yang ketiga itu adalah "istiana biha li thaah", yaitu menggunakan nikmat itu untuk melakukan ketaatan.
Dan ini nanti diulas panjang lebar oleh muridnya Ibnul Qayyim di dalam kitabnya "Latiful Ma'arif" terkait dengan wadifah ya, tugas-tugas atau amalan-amalan setelah Ramadan. Nah, yang pernah kita singgung. Jadi, bagaimana cirinya orang itu mensyukuri nikmat ya, itu salah satunya adalah dengan istikamah melakukan ketaatan. Nah, itu cirinya orang yang mensyukuri nikmat.
Ya, seperti kita pernah sampaikan. Jadi, kalau kita dapat nikmat, kita enggak bisa menolak. Tapi kemudian bagaimana kita menggunakan nikmat itu untuk taat. Nah, itu itu yang nanti akan ditanya oleh Allah. "Kenapa kamu dikasih nikmat, kamu pakai maksiat?" Nah, itu yang ditanya oleh Allah.
Definisi Zuhud yang Sebenarnya: Keyakinan pada Apa yang Ada di Sisi Allah
Nah, oleh karena itu Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah, kembali kepada pembahasan zuhud tadi. Jadi, dunia itu ibaratnya tadi datang dan pergi kepada kita. Maka ketika kita didatangi nikmat, ketika kita dapat ya, nah itu sesuatu yang ya karena itu kemudian ketika kita bicara maka makna dari zuhud itu kata Nabi dalam hadis Tirmidzi beliau menyatakan, "Laisaz zuhadu ya man haramal halal".
Orang yang zuhud itu bukanlah orang yang mengharamkan yang halal. Tidak ya. Jadi, orang yang zuhud itu bukan orang yang mengharamkan yang halal. Karena kalau Allah sudah memberi, ya silakan dinikmati ya. Jadi, kita diperintahkan untuk menikmati tapi menikmatinya untuk melakukan ketaatan. Nah itu. Makanya tadi disebutkan, "Lazuhatu man haramal halal". Zuhud itu bukan orang yang mengharamkan yang halal.
"Wa innama zuhadu.". Tetapi orang yang zuhud itu siapa? Orang yang dia mempercayai, meyakini apa yang ada di dalam genggaman Allah itu lebih ketimbang apa yang ada di dalam genggaman tangannya. Itu orang. Nah, itu kata Nabi. Jadi, orang yang lebih meyakini apa yang ada di dalam genggaman Allah ketimbang apa yang ada di dalam genggaman tangannya. Itu orang yang zuhud.
Perbedaan Harta di Tangan Manusia dan di Tangan Allah
Jadi, di dalam Al-Qur'an Allah menyebutkan, "Ma'akum yanfat". Apa yang ada di tangan kamu itu yangfat itu pasti akan habis. "Wallahil ba" sementara yang di tangan Allah itu abadi, enggak akan pernah habis.
Nah, jadi yang membuat kita stres karena kita lebih percaya dengan apa yang di dompet kita, apa yang di tangan kita, apa yang di rekening kita. Ya, kita lebih percaya dengan saving kita ketimbang kita percaya dengan apa yang ada di tangan Allah. Itu yang membuat kita stres, ya.
Nah, karena itu Rasulullah mengajarkan zuhud itu bukan orang yang dia tidak apa namanya mau dunia. Tidak. Dia boleh menerima dunia. Tetapi dia tidak menjadikan hatinya itu lebih percaya dengan dunia tadi ketimbang Allah, gitu. Nah, makanya nanti filosofi itu yang kita akan temukan pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabat ya. Pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabat. Jadi ini penting pertama kali untuk kita sampaikan ya.
Zuhud Bukan Ketiadaan Kemampuan, Tetapi Pilihan
Kemudian yang kedua, Allamah Asy-Syekh Dr. Muhammad Rasqu Alzi di dalam kitabnya "Syahsyatur Rasul Dirasah Tahliliah" itu beliau menceritakan dan ini juga menarik penjelasan tentang zuhud. Nah, nanti kita akan lihat pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Jadi, orang zuhud itu bukan orang yang tidak punya kemampuan untuk mengumpulkan harta. Tidak. Orang yang tidak punya kemampuan mengumpulkan harta terus dia bilang saya zuhud, itu sebenarnya dia terpaksa. Ya, terpaksa.
Tapi orang zuhud itu adalah orang yang punya kemampuan mengumpulkan harta, orang yang punya akses terhadap harta, terhadap dunia. Tetapi dia tidak mau berpaling dari akhirat. Tetapi dia tidak mau disibukkan pikiran dan hatinya itu dengan dunia tadi. Itu pilihan beliau. Jadi orang zuhud itu adalah orang yang bisa memilih. Dia diberi pilihan mau kaya tapi dia tidak mau. Dia diberi pilihan katakanlah mendapatkan nikmat tapi dia tidak menggunakannya pilihan tadi itu.
Nah, itu nanti dijelaskan ya oleh Profesor ya, Dr. Muhammad Rasqu Aji dalam kitabnya Syahsyatur Rasul Dirasah Tahliliyah kepribadian Rasulullah yaitu membahas tentang detail tentang kepribadian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ya. Nah, dari situ kita melihat bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan di dalam riwayat ini nanti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam betul-betul seperti yang tadi kita gambarkan ya. Ketika beliau Baginda Shallallahu Alaihi Wasallam itu mendapatkan apa namanya tawaran-tawaran ya dan bagaimana kemudian sikap beliau, sikap Baginda Shallallahu Alaihi Wasallam.
Contoh Zuhud Nabi: Tidur di Atas Hasir (Tikar Jerami)
Bismillahirrahmanirrahim. "Zuhudun Nabi sallallahu alaihi wasallam", zuhudnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, "dunia dari dunia waluj minha". Dan khuruj minha (keluar dari dunia tadi) "biduni talabusin biha". Tanpa talabus itu maksudnya menjadikan dunia itu menjadi pakaiannya, menjadikan dunia itu menjadi hiasannya. Nah, ini jadi itu Rasulullah dan para sahabat.
Dan faktanya kan orang meninggal itu apa sih yang dibawa ya? Orang yang meninggal itu kan cuma kain kafan ya kan? Dia enggak bawa apa-apa. Kain kafan semua. Nah, nanti mungkin ada pertanyaan, "Loh, Nabi katanya zuhud kok istrinya...?" Yang tidak zuhud saja enggak berani nikah lebih dari satu. Nah, ini pertanyaan menarik tapi nanti aja kita bahas ya belakangannya.
"Zuhudun Nabi sallallahu alaihi wasallam". Zuhudnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Hadis Umar Radhiyallahu Anhu, "fiiril hasiri fi jambihi". Hadis Umar Radhiyallahu Anhu mengenai taksir. Tsir itu ya taksir itu membekas. Jadi, al-hasir, hasir itu adalah alas tidur. Jadi, alas tidur Nabi itu membekas "fi jambihi" pada lambungnya Nabi.
Jadi, Nabi itu kan kalau tidur lambungnya kan di sebelah kanan ya. Jadi, Nabi itu kalau tidur lambungnya di sebelah sebelah kanan. Nah, itu miring sebelah kanan itu Rasulullah. Jadi, semua dari kehidupan Nabi itu bukan hanya sunah dalam pengertian kalau kita kerjakan itu merupakan kebaikan, tapi di situ ada rahasia-rahasia yang kemudian Allah tunjukkan pada kita nanti.
Hikmah Medis Tidur Miring Kanan
Yang menarik ya, ada profesor dari luar bukan orang Islam meneliti tidur miring sebelah kanan. Ketika orang itu tidur miring sebelah kanan, ini kita bicara medis ya. Kita bicara medis.
Jadi, jantung itu di sebelah kiri ya. Jantung itu sebelah kiri. Jadi, kalau kita tidur miringnya lambungnya itu sebagian kiri, maka ini apa namanya? saluran pernapasan, kemudian aliran darah dan sebagainya itu ketika itu ketekan ya, maka itu akan menghambat ya suplai oksigen macam-macam ya yang dipompa oleh jantung kita.
Tapi sebaliknya ketika kita miring sebelah kanan karena jantung di sebelah kiri maka itu akan membantu justru. Bahkan kemudian otak kita itu ada penelitiannya lebih dari 20 sekian persen itu akan mendapatkan suplai oksigen. Karena suplai oksigen ketika kita tidur tadi itu termasuk juga proses recovery ya, termasuk proses regenerasi sel dan sebagainya terjadi pada saat kita tidur itu akan membantu kerja otak kita. Maka ketika kita tidurnya benar, bangun tidur itu fresh. Bangun tidur itu fresh.
Bahkan sebagian ulama itu mengajarkan kalau kita ingin menghafal, caranya sebelum tidur hafalkan dulu. Maka nanti kemudian ketika kita sudah tidur itu mengendap. Lalu setelah tidur maka hafalan itu akan menguat. Itu ada rumusnya begitu ya. Nah, ini ini subhanallah. Dan kalau kita kembali kepada cara bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tadi tidur itu luar biasa ya. Luar biasa. Ini dari sisi kesehatan ya. Tidurnya ee apa namanya? Miring lambung kanan itu di bawah. Nah, itu itu yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Masyaallah ya.
Realita Alas Tidur Rasulullah:
Nah, tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam itu tidurnya enggak pakai kasur. Rasulullah tidur tidak pakai alas empuk. Rasulullah tidur itu di atas hasir. Hasir itu apa? Hasir itu tumpukan jerami. Jerami yang dianyam itu hasir. Itu kalau bahasa dulu ya. Kita itu kalau di kampung dulu tikar. Dulu kan kita itu ada tikar apa namanya? Jerami kan. Nah, itu yang dianyam itu. Nah, itu itu kalau dipakai tidur itu pasti bekas ya. Pasti membekas ini. Ini apalagi kalau tikarnya kasar, gitu.
Al-Fakir dulu waktu kuliah ya karena memang kondisi sedang susah gitu, itu kontrak rumah ya murah ketika itu. Nah, tempat tidurnya itu bukan kasur. Kalau zaman dulu kan kasurnya itu ee pakai apa namanya? Ee kapas yang apa? Kapuk itu ya. Kapuk. Nah, itu kan kalau semakin lama apalagi kalau kena keringat, kena macam-macam kan, bisa kempes terus kemudian keras gitu, keras. Ada yang lebih parah lagi kadang-kadang bukan itu. Jadi apa namanya dalamnya itu isinya karung. Karung itu terbuat dari apa namanya kulitnya Rosella itu ya. Nah, itu itu lebih keras lagi ya. Kalau kita tidur pakai alas seperti itu, kira-kira gimana rasanya badan itu? Ya ya mungkin dulu kalau masih muda masih mahasiswa enggak apa-apa. Tapi kalau sekarang sudah tua ya terasa sekali, ya kan?
Nah, ini. Nah, itu Rasulullah. Dan ingat Rasulullah tidur dengan alat seperti itu, bukan di usia muda. Karena riwayat ini itu adalah riwayat yang terjadi ketika Nabi di Madinah. Berarti Rasulullah usianya sudah di atas 50 tahun. Jadi, Rasulullah itu usianya sudah di atas 50 tahun. Dan kita tahu secara apa namanya? Medis maupun ya kalau kita bicara dalam konteks ee anatomi tubuh, 50 tahun itu sudah mulai mengalami penurunan ya kan.
Hikmah di Balik Kerasnya Kehidupan Rasulullah SAW: Antara Dunia dan Akhirat
Seringkali kita merasa bahwa massa otot dan kekuatan fisik akan menurun seiring bertambahnya usia. Namun, bagaimana dengan Rasulullah SAW yang justru memulai peperangan di usia 50 tahun? Fenomena ini, yang kini sejalan dengan teori olahraga beban, memberikan kita banyak pelajaran berharga tentang kekuatan fisik, gaya hidup, dan pandangan hidup Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Kekuatan Fisik dan Gaya Hidup Rasulullah SAW
Pada umumnya, di usia 50 tahun, massa otot manusia mulai menurun. Namun, Rasulullah SAW justru memulai perang besar dan kecil di usia tersebut. Ini bukan tanpa alasan. Sebagaimana dijelaskan, Rasulullah SAW tidak memerlukan gym karena "latihan bebannya" sudah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari beliau.
Kita bisa membayangkan pedang Nabi yang besar, yang penggunaannya sudah merupakan bentuk latihan beban. Selain itu, pola makan beliau yang sehat turut mendukung kekuatan fisiknya. Selama 10 tahun di Madinah, Rasulullah SAW memimpin 27 kali perang besar dan sekitar 70 kali perang kecil, menjadikan total hampir 100 peperangan. Ini berarti dalam setahun, beliau terlibat dalam sekitar 10 peperangan, dengan waktu istirahat yang sangat minim, hanya sekitar dua bulan.
Perjalanan, menunggang kuda, memanah, dan berbagai aktivitas sehari-hari beliau sudah menjadi bagian dari olahraga. Ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik Rasulullah SAW dan para sahabatnya bukan hasil dari latihan khusus yang terpisah, melainkan bagian tak terpisahkan dari gaya hidup mereka yang dinamis dan penuh perjuangan.
Kesederhanaan Hidup Nabi Muhammad SAW dan Makna Dunia
Umar bin Khattab RA pernah menyaksikan langsung kesederhanaan hidup Rasulullah SAW yang sangat menginspirasi. Sebuah riwayat dari Ibnu Majah dengan sanad sahih, yang diceritakan oleh Umar bin Khattab RA sendiri, menggambarkan betapa sederhana kehidupan Nabi:
Umar bin Khattab RA memasuki rumah Rasulullah SAW dan mendapati beliau sedang berbaring di atas tikar anyaman yang terbuat dari jerami. Tikar tersebut membekas di lambung Nabi. Di kamar itu, tidak ada apa-apa lagi selain tikar dan sebuah kulit yang belum disamak tergantung. Rumah Nabi hanya berbentuk kotak, berfungsi sebagai ruang tamu, ruang makan, dan tempat tidur. Jika ada tamu, hanya ada tabir sebagai pembatas.
Kondisi ini bahkan dijelaskan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Ahzab: 53): "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka." Ayat ini turun untuk menjaga kehormatan keluarga Nabi di dalam rumah yang sangat sederhana tersebut.
Melihat pemandangan ini, mata Umar bin Khattab RA berkaca-kaca. Rasulullah SAW bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, hai Ibnu Khattab?" Umar menjawab, "Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin aku tidak menangis? Tikar anyaman ini telah membekas di lambungmu, dan ini adalah lemari simpananmu. Aku tidak melihat apa-apa kecuali apa yang aku lihat hari ini."
Umar kemudian membandingkan kehidupan Nabi dengan Kisra (penguasa Persia) dan Kaisar (penguasa Romawi) yang hidup dalam kemewahan, menikmati buah-buahan, dan memiliki sungai-sungai yang mengalir di bawah istana mereka sebagai simbol kemewahan dan hiburan. "Sementara engkau adalah Nabi Allah, pilihan Allah, dan 'lemari simpananmu' hanya seperti ini, wahai Rasulullah?" kata Umar.
Pilihan Abadi: Akhirat atau Dunia?
Jawaban Rasulullah SAW atas pertanyaan Umar sungguh luar biasa dan menjadi pelajaran fundamental bagi kita semua:
"Apakah kamu tidak rida jika Allah memberikan akhirat untuk kita, sementara mereka mendapatkan dunia?"
Kalimat ini seharusnya menggetarkan hati kita. Dunia disebut dunia karena hina (ad-dunya berasal dari kata dana yang berarti rendah atau dekat). Di dunia inilah kemaksiatan terjadi, sebagai konsekuensi dari dosa Nabi Adam AS yang diturunkan ke dunia.
Allah SWT berfirman dalam Surah Fatir ayat 5: "Hai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar (termasuk akhirat)." Dan dalam Surah Ad-Dhuha ayat 4, Allah berfirman kepada Nabi-Nya: "Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada permulaan (dunia)." Allah juga akan memberikan kepuasan kepada Nabi di akhirat.
Seringkali kita tidak sabar, padahal hidup di dunia ini sangatlah singkat. Betapapun sulitnya, umur kita terbatas. Bahkan orang yang diberi umur panjang sekalipun, seperti yang mencapai 123 tahun, pada akhirnya akan merasakan kelemahan tubuh. Kehidupan di dunia ini digambarkan sebagai sebuah perjalanan: dari setetes nutfah menjadi janin, lalu dilahirkan dengan akal yang belum sempurna dan badan yang lemah, tumbuh dan berkembang hingga mencapai puncaknya di usia 20-an atau 30-an. Setelah itu, penurunan dimulai di usia 30, 40, 50, dan seterusnya, hingga kembali lemah seperti anak kecil.
Puncak kenikmatan hidup manusia, secara fisik, mungkin hanya sampai usia 40 tahun, itupun jika sehat. Banyak orang di usia 20, 30, atau 40 tahun sudah menderita penyakit karena gaya hidup tidak sehat. Penyakit-penyakit yang dulu jarang muncul kini banyak ditemukan.
Hidup yang singkat ini seringkali membuat kita tidak sadar. Allah telah menyiapkan segalanya untuk kita, namun kita cenderung ingin terus berada di dunia. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ya Ibnu Khattab, apakah kamu tidak rida jika kita mendapatkan bagian akhirat, sedangkan mereka mendapatkan bagian dunia?"
Akhirat itu abadi, dunia ini sementara. Kenikmatan dunia, betapapun puncaknya, tidak ada bandingannya dengan surga yang akan kita dapatkan di akhirat. Nabi SAW bersabda, kenikmatan dunia dibandingkan dengan akhirat itu seperti sayap lalat. Orang terkaya di dunia sekalipun, kekayaannya tidak sebanding dengan satu sayap lalat di hadapan kenikmatan akhirat.
Oleh karena itu, dalam Surah Fatir ayat 5, Allah mengingatkan kita: "Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu." Kehidupan dunia ini adalah penipu.
Menjaga Hati dari Tipuan Dunia
Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menerima nikmat dunia tanpa tertipu olehnya? Para ulama tasawuf menjelaskan: "Kamu boleh menikmati dunia, tapi jangan pernah masukkan dunia ke dalam hatimu."
Silakan nikmati dunia, tapi jangan biarkan dunia menguasai hatimu. Tujuan utamanya adalah agar hati kita tetap teguh dan terfokus pada akhirat. Meskipun secara lahiriah kita menikmati dunia, hati kita harus tetap berorientasi pada akhirat. Inilah yang disebut zuhud: seorang yang mampu menguasai dunia, memegang dunia, dan menikmatinya, namun tidak membiarkan dunia masuk ke dalam hatinya, sehingga ia tidak dikuasai oleh dunia.
Jawaban Rasulullah SAW yang begitu ringan, "Apakah kamu tidak rida jika kita mendapatkan akhirat sedangkan mereka mendapatkan dunia?" menunjukkan betapa fokus hati beliau pada kehidupan yang kekal. Jika seseorang sudah tergoda dan silau dengan dunia, berarti hatinya telah berpaling dari akhirat.
Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain dan dinyatakan sahih sesuai syarat Imam Muslim, menekankan pentingnya prioritas dan pandangan hidup seorang Muslim. Al-Hakim menggunakan jalur periwayatan yang sama dengan Imam Bukhari dan Muslim, menunjukkan keabsahan riwayat ini.
Imam Tirmidzi, murid Imam Bukhari, kemudian mengembangkan klasifikasi hadis selain sahih dan dhaif (lemah), yaitu hadis hasan, untuk mengakomodasi hadis-hadis yang kualitasnya di antara keduanya. Ini menunjukkan upaya keras para ulama dalam menjaga dan mengklasifikasikan warisan Nabi Muhammad SAW.
Memahami Klasifikasi Hadis dan Kehidupan Zuhud Rasulullah SAW
Dalam studi hadis, setelah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi yang berderajat "hasan," kita mengenal tiga kategori utama hadis: sahih, dhaif, dan hasan. Para ulama, seperti murid Imam Muslim, Abu Dawud, menulis kitab-kitab Sunan yang merangkum hadis-hadis ini.
Kitab Al-Mustadrak dan Pemahaman Hadis
Al-Hakim An-Naisaburi berupaya menelusuri hadis-hadis yang menggunakan jalur Bukhari dan Muslim, lalu menghimpunnya dalam kitab Al-Mustadrak. Kata "mustadrak" berasal dari kata darokah (turun ke bawah), yang berarti mengumpulkan kembali, meneliti ulang, dan mengolah lagi hadis-hadis yang sebelumnya mungkin tidak terpakai atau kurang diperhatikan. Karya Al-Hakim An-Naisaburi ini terkumpul menjadi belasan jilid.
Penting untuk tidak gegabah dalam menilai suatu hadis hanya karena statusnya dalam kitab tertentu. Misalnya, jika ada hadis yang disebut "dhaif" dalam Al-Hakim An-Naisaburi, kita tidak boleh langsung menolaknya. Guru kami bahkan menulis kitab yang mengkritik cara ulama mutaakhirin mempelajari hadis, menekankan pentingnya tidak terburu-buru dalam vonis.
Kisah Kezuhudan Rasulullah SAW dan Pelajaran Berharga
Sebuah hadis dari Umar bin Khattab r.a. menjelaskan kezuhudan Rasulullah SAW. Umar meminta izin masuk ke kamar Nabi di masyrubah (kamar kecil). Rasulullah saat itu sedang tidur di atas khasafah, yaitu kain atau pakaian yang sangat kasar, sebagian terhampar di lantai. Bantal beliau adalah anyaman, serupa tikar, dan di atas kepala beliau ada ihab (kulit). Di sisi kamar juga ada qarat (wadah air dari labu kering).
Umar lantas mengucapkan salam dan bertanya dengan rasa heran: "Engkau adalah Nabi Allah, pilihan Allah. Sementara Kisra dan Kaisar berada di atas ranjang emas dan kasur sutra yang empuk. Mengapa engkau memilih hidup seperti ini, ya Rasulullah?"
Rasulullah SAW menjawab, "Hai Umar, mereka itu telah disegerakan kebaikan-kebaikan mereka di dunia ini, dan itu pasti akan terputus. Sedangkan kita adalah kaum yang ditangguhkan kebaikan-kebaikan kita di akhirat."
Ini adalah pelajaran yang luar biasa. Rasulullah SAW menggambarkan dunia ini seperti seorang pengendara yang berteduh sebentar di bawah pohon terik, lalu pergi dan meninggalkan tempat itu. Begitulah dunia. Jabatan, harta, kekayaan, kedudukan, semuanya sementara. Kita akan meninggalkan semua itu.
Pentingnya Membersihkan Hati dari Kecintaan Dunia
Guru kami, Abuya Yazid Muhammad, seorang ulama Makkah keturunan Rasulullah SAW yang kaya raya, pernah mengajak murid-muridnya menginap di hotel mewah bintang lima. Namun, beliau tidak tidur di atas kasur, melainkan menggelar sajadah atau tikar di lantai dan mengajak muridnya tidur di sana.
Ketika muridnya bertanya, "Abuya, mengapa kita tidur di atas lantai? Mengapa tidak di atas kasur?" Abuya Yazid memberikan pelajaran: "Jika kamu sudah bisa tidur di atas kasur dan di atas lantai dengan perasaan yang sama, berarti hatimu sudah benar dan ikhlas. Tetapi jika kamu masih merasa tidur di atas kasur lebih baik, berarti hatimu masih kotor."
Ini menunjukkan bahwa seringkali kita mengukur kesuksesan dengan materi. Kita berbangga dengan mobil mewah atau rumah megah. Padahal, jika kita masih merasa lebih hebat karena kepemilikan materi, itu tanda hati kita belum bersih.
Allah SWT berfirman: “Qad aflaha man zakaha wa qad khaba manassa.” (Sungguh beruntung orang yang membersihkan hatinya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya). Membersihkan hati ini bukan hanya soal dosa, tetapi juga soal dunia. Kita perlu berdoa agar Allah membersihkan hati kita, sebagaimana doa: “Allahum nafsi taqwaha wakiha fakairakha.” (Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan bersihkanlah jiwa hamba ini, karena Engkau adalah Zat yang membersihkan jiwa.)
Jika kita bisa mencapai kondisi ini, hidup akan terasa nikmat. Nikmat datang dan pergi, kita akan merasa biasa saja. Masalah muncul ketika kita menganggap nikmat itu akan selamanya. Contohnya, ada orang yang pusing jika tabungannya kurang dari angka tertentu, karena ia merasa hidup tidak akan tenang tanpa uang.
Menjadikan Kehidupan Rasulullah SAW sebagai Tolok Ukur
Hadis tentang kezuhudan Nabi SAW diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya dari Anas dan Umar r.a., dengan redaksi serupa yang juga disebutkan dalam kitab At-Targhib. Imam Ahmad dan Abu Ya'la juga meriwayatkan hadis ini. Al-Haitami dalam kitab Majma' Az-Zawaid menyebutkan bahwa perawi Imam Ahmad adalah perawi yang sahih, kecuali Mubarak bin Fadhala, yang sebagian ulama menilainya tsiqah (terpercaya) dan sebagian lain menilainya dhaif. Ini adalah hal yang lumrah dalam ilmu hadis.
Para ulama hadis seperti At-Tirmidzi dan Abu Dawud bukanlah orang biasa. Mereka adalah ulama yang menguasai fikih dan tahu bagaimana menggali hukum dari dalil. Oleh karena itu, jika ada hadis dhaif dalam kitab mereka, mungkin ada tujuan tertentu yang belum kita pahami. Ini membedakan mereka dengan sebagian ahli hadis masa kini yang mungkin tidak menguasai ushul fikih.
Pada akhirnya, kita perlu mempelajari dan mengkaji pembahasan seperti ini agar menjadi tolok ukur dalam hidup. Terkadang, kita sudah "offside" atau melampaui batas dalam mengejar dunia. Dengan mempelajari kezuhudan Nabi, kita bisa kembali ke garis yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga kita bisa bersama dengan Baginda Nabi Muhammad SAW di akhirat kelak.
Sebagai rekomendasi, bacalah Kitab Musnad Fatimah yang ditulis oleh Imam As-Suyuti. Kitab tipis ini menggambarkan kehidupan keluarga Rasulullah SAW yang diceritakan oleh putrinya, Fatimah r.a., yang akan membuat kita menangis dan merenungi betapa sederhana dan mulianya kehidupan beliau.